Kisah Dibalik Terbentuknya Kolam Evu
Kolam Evu merupakan salah satu destinasi wisata yang cukup terkenal di Pulau Kei, Maluku Tenggara. Setiap traveler yang berkunjung ke Pulau Kei pasti menyelipkan destinasi ini ke dalam itinerary mereka, begitu pula dengan saya. Di hari kedua kunjungan saya ke Pulau Kei, saya menempatkan Kolam Evu sebagai destinasi pertama. Berendam di kolam kebanggaan masyarakat Pulau Kei, khususnya Kampung Evu, pastilah sangat menyenangkan.
Namun semakin tua membuat perjalanan saya tidak hanya terpusat pada kegiatan berfoto dengan keindahan objek wisata atau sekedar mengunjunginya saja. Ada kepuasan lainnya yang saya dapat ketika saya bisa mendengar cerita mengenai tempat tersebut langsung dari warga lokal. Saya percaya kalau setiap tempat pasti memiliki sejarah atau cerita yang menarik untuk disimak. Untuk mendapatkan cerita tersebut, usai bermain di Kolam Evu, saya pun mencari warga lokal yang bisa saya ajak bicara. Dari seberang kolam Evu, terlihat sebuah rumah dari bambu yang cukup besar. Berjalanlah saya ke rumah itu dengan melewati pinggir kolam.
Di dalam teras rumah tersebut, seorang pria berbadan besar dengan baju lengan buntung berwarna hitam sedang terduduk dengan ditemani oleh alunan musik Maluku. Di tangannya terlihat sebuah parang besar yang masih basah dengan rumput-rumput kecil yang masih menempel. Dugaan saya, pria itu baru saja pulang dari berkebun. Dengan sedikit niat dan diberi bumbu bernama keberanian, saya pun menghampiri lelaki tersebut.
Namanya adalah Bung Kenny Sirken, salah seorang warga Kampung Evu yang mendedikasikan dirinya untuk merawat dan memajukan wisata Kolam Evu ini. Dari pria inilah saya mendapatkan cerita mengenai Kolam Evu ini.
Sejarah Kolam Evu
Jaman dahulu, ada seorang moyang dari marga Elmas yang sedang berburu di hutan dengan kedua anjingnya yang bernama Ngoak dan Wii. Ngoak bertugas untuk mencari mangsa sedangkan Wii bertugas untuk menangkapya. Ketika mangsa sudah terlihat, maka Ngoak akan berbunyi dan Wii lah yang akan mengejar untuk menangkapnya. Jika sudah tertangkap, maka Wii akan memberikan bunyi sebagai kode kalau mangsa sudah tertangkap.
Area dimana hutan tersebut berada namanya Warden, lokasinya berada di antara Desa Evu dan Desa Ngabub. Berburu dari pagi ternyata membuat kedua anjing itu pun kehausan. Melihat kedua anjingnya butuh air, moyang dari marga Elmas ini lantas mencari air untuk anjingnya.
Di tengah perjalanan, moyang ini melihat sebuah Walang (pondok). Mampirlah dia ke pondok itu. Setibanya di sana, ia berjumpa dengan seorang nenek yang seluruh badannya dipenuhi oleh penyakit kulit. Kepada nenek itu ia meminta dengan sopan, “Nek, apakah kamu mempunyai air? Anjing-anjingku kehausan karena berburu dari pagi.”
Orang dulu tidak menyimpan airnya di jerigen atau ember, melainkan di bambu. Mendengar permohonan itu, sang Nenek memintanya untuk berjalan menuju bambu dan melihat apakah masih ada air di dalamnya atau tidak. Dari tempatnya berdiri, moyang Elmas itu pun berjalan ke arah bambu yang ditunjuk oleh sang Nenek. Namun sayang, persediaan air di bambu tersebut ternyata sudah habis.
“Maaf nek, tapi airnya sudah habis.” Ucap moyang Elmas dengan nada yang sedikit kelelahan. “Kalau begitu, bawa kedua anjingmu ke sini dan aku akan memberikannya air.” Jawab nenek yang membuat moyang Elmas tersenyum gembira. Setelah kedua anjing itu berada dihadapannya, nenek itu mengangkat kedua tangannya. Dari ketiaknya keluarlah air yang sangat jernih. Air itulah yang menjadi air minum bagi kedua anjing tersebut.
Usai memberi air kepada kedua anjing tersebut, nenek itu berpesan kepada moyang Elmas kalau Jumat pagi, ia akan masuk ke dalam kampung. “Bilang kepada orang kampung untuk tidak takut saat melihat hujan angin dan pepohonan di dalam hutan perlahan-lahan rubuh. Itu merupakan tanda kalau saya masuk kampung” Ujar nenek.
Sesuai dengan yang dikatakannya, Jumat pagi nenek itu masuk ke dalam kampung dengan membawa air yang sangat banyak. air-air tersebut merubuhkan dan menghanyutkan pepohonan yang dilaluinya. Bahkan ada salah satu rumah milik marga Songbes yang ikut terhanyut akibat terjangan air dari kedatangan nenek itu. Sejak itulah air ini mengaliri Desa Evu dan menjadi air kehidupan bagi warga kampung tersebut.
Siapa Nenek “Sakti” itu?
Setelah membaca cerita di atas, pasti kalian penasaran kan siapa sih nenek sakti yang membawa air itu, saya pun begitu. Menurut orang Maluku Tenggara, nenek ini hidupnya berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lainnya yang ada di Pulau Kei. Setiap kali dia pindah, air ini selalu dibawa bersamanya. Kehadiran nenek ini di suatu desa ternyata tidak selalu membawa sukacita. Banyak juga orang yang kesal karena air yang dibawanya ini berisik, selain karena sekucur tubuhnya yang dipenuhi oleh semacam penyakit kulit.
Suatu ketika ada orang yang berusaha menikam nenek ini dengan linggis, maka ia pindahlah ke daerah Warden dengan membawa serta si air yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Kolam Evu. Kehadiran nenek ini di Kampung Evu dianggap sebagai suatu berkat karena airnya ini memberikan kehidupan, sehingga nenek ini diberi nama NEN MAS-IL. Dalam Bahasa Indonesia, NEN berarti nenek, Mas artinya emas, sedangkan Il artinya kembali. Jadi nenek ini adalah Emas yang hilang telah kembali. Memang di sinilah harusnya ia tinggal, menetap hingga akhir hayatnya dan menjadi “emas” bagi penduduk sekitar. Sebelum diberi nama NEN MAS-IL, ada yang bilang kalau nama asli nenek ini adalah NEN LIDAR.
*****
Penjelasan mengenai siapa nenek tersebut menjadi akhir cerita dari Bung Kenny. Saya bersyukur karena bisa berjumpa dengannya dan mendengar langsung cerita mengenai Kolam Evu yang memesona ini. Ceritanya memang terkesan mistis, aneh dan tidak masuk akal, tapi itulah kepercayaan orang Maluku Tenggara dan saya menghargai sekali apa yang mereka percaya itu.
Tidak semua hal harus masuk akal. Ada kalanya kita hanya perlu mempercayai hal tersebut dan membiarkannya begitu saja. Biarlah itu menjadi cerita, cerita yang memberi warna pada perjalanan yang kita lakukan.
You must enjoy the journey because whether or not you get there, you must have fun on the way.
— Kalpana Chawla