Sisi Lain Kolam Pemandian Evu
Buat beberapa traveler yang sudah pernah menginjakkan kaki di Kolam Pemandian Evu di Desa Evu, Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, pasti sudah tidak meragukan keindahan kolam ini. Di atas kolam yang cukup besar dengan kedalaman kurang lebih 2 meter itulah tertampung air jernih yang begitu menghipnotis. Sulit rasanya hanya memandangnya dan tidak menceburkan diri ke dalam kolam.
Saya pun merasa seperti itu ketika berkunjung ke sana, tersihir dengan keindahan airnya yang memesona. Tidak perlu waktu lama, setelah tiba dan mendapat sedikit panggilan dari air di Kolam Pemandian Evu, saya langsung terjun dengan tak lupa melepaskan baju terlebih dahulu. Mesikpun dingin, tapi kehangatan kolam ini sangat bisa saya rasakan. Kehangatan itulah yang membuat saya merasa diterima di sini dan saya yakin kalian yang pernah ke sini pasti mengalami hal ini juga.
Namun kebanyakan traveler yang pernah ke sini hanya sekedar bermain di dalam kolam, berfoto, lalu meninggalkan tempat ini untuk menuju destinasi berikutnya. Berbeda halnya dengan saya. Usai bermain air, rasa penasaran menghantui pikiran ini. Saya begitu penasaran dari mana air jernih ini berasal. Perlu kalian tahu, air di Kolam Pemandian Evu ini terus mengalir, hal tersebutlah yang membuat air ini tetap jernih. Kalau diumpamakan, mungkin kolam pemandian air tawar ini seperti kolam di Umbul Ponggok.
Untuk mengobati rasa penasaran ini, saya pun mencari orang lokal di sekitar Kolam Pemandian Evu untuk saya tanya. Seperti layaknya cerita FTV Indonesia yang selalu berakhir dengan bahagia, begitulah akhir dari pencarian saya. Setelah berjalan ke sebuah rumah yang ada di seberang Kolam Pemandian Evu, saya berjumpa dengan pria berbadan besar yang bernama Kenny Sirken. Bisa dibilang dia adalah salah satu “Penjaga” dari kolam Pemandian Evu ini.
Usai memperkenalkan diri dan mendengar sejarah Kolam Evu yang dijelaskan Bung Kenny, saya pun bertanya mengenai titik asal air jernih di Kolam Pemandian Evu ini berada. Bung Kenny bilang, Kepala air (mata air) dari kolam ini berada jauh di atas bukit dan bernama Howani. Ketika saya bertanya mengenai kemungkinan Bung Kenny membawa saya ke sana, dia bilang bisa tapi jaraknya jauh sekali. Sebagai solusi, ia pun menawarkan saya beserta rombongan untuk “memotong jalan”. Jadi kami tidak pergi ke sumber mata airnya melainkan ke sungai yang jaraknya beberapa ratus meter dari sumber mata air. Mendengar tawaran itu, kami pun setuju.
Mobil yang sudah kami parkir kembali dinyalakan. Bersama dengan Bung Kenny, kami berangkat dengan mobil itu menuju ke titik yang diarahkan langsung olehnya. Jaraknya kira-kira beberapa kilometer saja dari Kolam Pemandian Evu dan jalurnya cukup menanjak. Sesampainya di titik yang dituju, Bung Kenny menyuruh kami turun karena rute selanjutnya membelah hutan dan harus dilalui dengan berjalan kaki.
Leterwain
Dengan tangan kanan memegang sabit, Bung Kenny berjalan di posisi paling depan dan kami mengikutinya di belakang. Sesekali sabit itu dia ayunkan untuk menebas rerumputan yang tinggi dan membuka jalan bagi kami. Hingga tiba di suatu titik di pinggir sungai, Bung Kenny meminta sebuah koin kepada saya. Kami lalu diminta untuk berhenti sejenak, sedangkan ia turun ke sungai dan melempar koin tersebut ke sebuah pohon. Setelah melemparkan koin, matanya terpejam dan mulutnya berkomat-kamit seperti sedang mengucapkan doa. Saat kembali membuka mata, ia pun langsung mengizinkan kami turun ke sungai yang luar biasa jernih.
Bung Kenny pun bercerita kalau tempat dimana ia berdoa dan meminta izin kepada roh-roh nenek moyang tadi bernama Leterwain. Ritual tersebut wajib dilakukan jika tidak ingin terjadi apa-apa ketika ia membawa tamu. Beberapa minggu sebelumnya, sebelum kami tiba, sepasang turis asal Jerman hanyut di sungai itu. Untung saja mereka bisa selamat meskipun dengan luka yang cukup parah disekujur tubuh mereka akibat terseret arus dan menghantam bebatuan yang ada di sisi kiri dan kanan sungai.
Menurut Bung Kenny, hal itu terjadi sebab Turis Jerman itu tidak memberikan koin kepadanya. Sebenarnya ada kendala bahasa ketika Bung Kenny mengantar turis tersebut. Bung Kenny tidak tahu bagaimana cara meminta koin dalam Bahasa Inggris dan seandainya bisa pun ia bingung untuk menjelaskan untuk apa koin tersebut. Ia tidak ingin dicap sebagai orang lokal yang suka meminta uang kepada turis yang diantarnya.
Puas berfoto sejenak di sekitar Leterwain, kami pun berjalan mengikuti aliran air sungai. Formasi masih tetap sama dengan Bung Kenny berada di paling depan. Pepohonan tinggi dan lebat di kiri dan kanan menjadi teman perjalanan yang setia. Karena arusnya deras, kami harus berhati-hati dalam melangkah. Salah-salah kami bisa terpleset dan hanyut. Kedalaman sungai pun bervariasi, terkadang hanya 30 cm, tapi 10 langkah ke depan, kedalaman bisa berubah menjadi 100 cm. Saya merasa seperti sedang berada di dunia lain.
Ohoidenan
Berjalan selama 15 menit, rombongan saya tiba-tiba berjumpa dengan anak-anak lokal yang sedang bermain air. Rupanya sungai ini memang menjadi arena bermain mereka. Terlihat beberapa akar pohon menjuntai dari atas dan dapat digunakan untuk bermain ayunan. Kami pun tidak ingin melewatkan kesempatan itu dan mencobanya. Beberapa anak lokal dengan semangat mendorong kami yang mencoba ayunan tersebut. Mereka sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan kami. Bung Kenny bilang, tempat ini bernama Ohoidenan.
Jujur, saya tidak terlalu terkesima dengan ayunan alami tersebut. Saya justru masih terhipnotis dengan airnya. Sumpah, air ini jernih banget dan sangat alami. Saking jernihnya, telapak kaki yang terendam di dasar sungai pun bisa terlihat dari atas. Poin plus lainnya adalah tidak ada sampah sama sekali di sungai ini. Semoga terus begitu ya 🙂
Kami tidak terlalu lama bermain di Ohoidenan karena perjalanan harus dilanjutkan. Keceriaan semakin bertambah sebab kami terus didampingi oleh anak-anak lokal tadi. Bahkan dengan penuh sukacita mereka menawarkan diri untuk mengangkut beberapa barang bawaan kami. Itu membantu sekali buat kami yang tidak terbiasa berjalan di medan dengan arus yang cukup deras. Sesekali kami juga harus melipir dan memanjat dinding sungai untuk menghindari arus yang deras.
Perjalanan 40 menit melewati sungai pun harus berakhir dan kami harus kembali melewati jalur darat yang dipenuhi pohon yang lebat. Arus yang semakin deras dan jalur air yang agak curam membuat kami tidak bisa melanjutkan perjalanan melewati sungai hingga ke Kolam Pemandian Evu. Disela-sela perjalanan menembus hutan, seorang anak lokal mengambil cocoa dari pohon dan meminta salah seorang dari kami untuk mencobanya. Cocoa dan keramahan anak-anak lokal menjadi teman perjalanan kami hingga ke titik akhir yang ternyata berada di rumah milik Bung Kenny.
Oh ya, di sebelah rumah Bung Kenny ini ada sebuah kolam atau semacam bendungan yang benar-benar dijaga. Jadi sebelum air masuk ke dalam Kolam Pemandian Evu, air dari sungai yang kami lewati tadi terlebih dahulu tertahan di bendungan ini. Tidak ada seorang pun yang boleh nyemplung ke dalam bendungan ini karena air di sini digunakan sebagai sumber air oleh PDAM dan didistribusikan ke seluruh penjuru Kei Kecil, khususnya Langgur dan Tual. Ternyata selain sebagai area untuk berenang, ada juga area terpisah di Evu ini yang menjadi jantung dari Pulau Kei. Tidak heran kalau air Evu ini juga biasa disebut sebagai air kehidupan.
******
Itu tadi sisi lain dari Kolam Pemandian Evu yang belum banyak orang tahu. Ingat, kalau ke Evu, jangan lupa untuk menjelajah aliran sungainya ya dan jangan hanya terfokus pada kolamnya saja. Pesan terakhir dari saya adalah bertegur sapalah dengan warga lokal, ajaklah mereka berbicara karena esensi dari sebuah perjalanan bukan hanya menikmati tempat wisatanya saja, tetapi juga berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Tidak jarang kebaikan dan hal-hal luar biasa justru terjadi saat kita mau mengakrabkan diri dan bercengkerama dengan warga-warga sekitar.
Pesan
- Kalau mau menjelajah sungai ini, cukup bawa kamera atau handphone tahan air.
- Usahakan menggunakan sandal gunung.
- Jika menggunakan jasa Bung Kenny, jangan lupa untuk memberikan uang seikhlasnya (tapi masuk akal) sebagai wujud terima kasih.
Nothing is softer or more flexible than water, yet nothing can resist it.
— Lao Tzu