Mama Sariat: Sang Profesor Pewarna Alami dan Pengrajin Tenun Ikat Alor
“Kain tenun ini berapa harganya?” Tanya saya kepada salah seorang wanita yang sedang berjaga sambil menunjuk ke arah sebuah kain tenun ukuran besar. Sudah hampir 1 jam saya berada di dalam Rumah Tenun Ikat Kampung Hula, Desa Alor Besar, ini dan belum ada satu pun kain yang saya beli. Dari tadi yang saya lakukan hanya membolak balik jajaran kain yang dipajang di sana dan bertanya harganya satu per satu. Mungkin wanita yang berjaga itu pun sudah malas dan muak untuk menjawab pertanyaan saya.
- Baca Juga: Travel Itinerary Jelajah Alor 7 Hari 7 Malam
Dalam hatinya mungkin ia berkata, “Dari tadi hanya tanya tapi tidak beli. Punya uang atau tidak sih orang ini?”. Memilih kain tenun itu memang kelihatannya gampang, padahal tidak. Apalagi kalau semua kainnya bagus dan semua ingin kita beli. Kembali lagi, saldo dalam tabunganlah yang akan menjadi penentunya.
“Kalau yang itu 1,5 juta, bung.” Jawab wanita itu dengan suara yang keras tapi nadanya agak sedikit malas.
“Tidak bisa kurang ini? Kalau bisa, saya mau ambil yang ini.” Jelas saya.
“Kalau untuk harga pastinya, silahkan langsung bawa kainnya keluar dan tanyakan langsung kepada mama.” Tegas wanita itu kepada saya.
Sesuai dengan instruksi wanita itu, saya pun membawa kain itu keluar menuju semacam pendopo, tempat dimana wanita yang disebut “mama” itu sedang duduk bersama beberapa masyarakat Alor lainnya. Disitulah perjumpaan pertama saya dengan wanita yang ternyata bernama asli Sariat Tole atau lebih akrab dipanggil dengan Mama Sariat.
Kesan Pertama
Pertama jumpa dengan Mama Sariat untuk menawar harga kain yang ingin saya beli, jujur saya takut. Wanita ini terlihat begitu gagah dan menyeramkan bagi saya. Tatapan matanya begitu tajam. Dengan santainya ia duduk di atas kursi bambu dengan puluhan kain yang baru saja selesai ditenun. Bibir dan giginya begitu merah akibat sirih pinang yang kerap dikonsumsinya dan tangan kanannya asyik memegang sebatang rokok yang sesekali dihisapnya.
Usai keberanian terkumpul, saya pun menghampirinya dan bertanya, “Mama, harga kain ini bisa turun kan? 1,2 juta boleh?”
Tanpa banyak basa-basi, ia pun menganggukkan kepala dan kemudian berkata, “Tolong kasih adik ini plastik untuk dia taruh kain yang dia beli ini.”
Setelah mendengar itu, saya pun tersenyum dan lantas mengeluarkan uang sesuai dengan harga yang sudah kami sepakati. Dari sanalah suasana semakin mencair dan saya pun berani untuk memulai perbincangan ala warung kopi.
Mama Sariat dan Pewarna Alami
Di tanah Alor, tenun ikat adalah pusaka leluhur. Proses tenun dan motifnya merupakan bagian dari warisan nusantara. Tak terkecuali warna khas dari kain tenunnya. Sebagian pembuat kain tenun menggunakan pewarna alam dan hal ini pulalah yang dilakukan oleh Mama Sariat. Hebatnya lagi, semua pewarna kain Mama Sariat buat sendiri. Dengan sangat baik ia memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tanah kelahirannya untuk membuat karya seni tenun ikat.
Tapi tahukah kalian kalau ada proses yang cukup panjang sebelum benang-benang itu menjadi kain berwarna? Mama Sariat menjelaskan kalau setiap paginya, sebelum memulai untuk mewarnai benang atau menenun, Mama Sariat bersama warga Desa Alor Besar lainnya akan pergi ke halaman belakang rumah Mama Sariat untuk mengambil kapas yang ia tanam sendiri. Kapas yang sudah diambil kemudian diproses, mulai dari memisahkan biji kapas (kapas akan dimasukkan ke dalam alat seperti alat pemeras tebu), lalu kapas dihaluskan dengan busur dan barulah dipintal menjadi benang. Semua proses itu masih menggunakan alat tradisional.
- Baca Juga: Moko, Belis untuk Menikahi Wanita Alor
Bahkan bukan hanya kapas saja yang ia tanam sendiri, tapi bahan-bahan alami untuk mewarnai benang pun ia tanam sendiri juga. Seperti mengkudu untuk memberikan warna coklat, pinang untuk memberi warna oranye, kunyit untuk memberi warna kuning, semua bisa kalian temukan di halaman belakang rumahnya.
“Saat sebagian warga sedang memintal atau menenun, biasanya saat itulah saya bereksperimen untuk menciptakan bahan pewarna alami.” Jelas Mama Sariat. Seperti untuk menciptakan warna coklat contohnya. Mama Sariat memberi contoh dengan mengambil akar Mengkudu dan kemudian membersihkan akar tersebut. Saat sudah dianggap bersih, Mama Sariat memotongnya menjadi beberapa bagian kecil untuk selanjutnya ditumbuk. Ketika sudah menjadi butiran-butiran halus, butiran-butiran itu ia rebus hingga menyatu dengan air dan warnanya keluar. Barulah saat itu benang ia rendam selama beberapa hari agar warnanya benar-benar menempel pada benang.
Untuk menemukan bahan pewarna alami ini, Mama Sariat pernah dianggap orang gila lho. “Waktu itu ada yang pernah berkata kepada saya bahwa saya ini macam orang gila saja karena setiap hari keluar masuk hutan untuk mencari seusatu yang tidak jelas.” Cerita Mama Sariat. “Saya melakukan hal tersebut untuk mencari kira-kira tanaman apalagi yang bisa saya gunakan untuk jadi pewarna alami.” Tambahnya.
Namun Mama sariat tidak menganggapnya sebagai hinaan, melainkan pujian dan salah satu bentuk perhatian orang lain kepadanya. Perkataan tersebut tidak membuatnya berhenti sedikitpun untuk tetap bereksperimen.
Berawal dari Ketidaksengajaan
Kalau pewarna alami dari daratan ia dapatkan lewat hasil coba-coba, lain halnya dengan pewarna alami yang ia dapat dari kekayaan laut Alor. “Jadi awalnya itu datang dari sebuah ketidaksengajaan. Setelah mendapatkan hasil laut, Bapak menaruhnya di dekat pintalan benang. Cumi-cumi, salah satu hewan tangkapan bapak waktu itu, tiba-tiba saja mengeluarkan tintanya dan mengalir di atas lantai lalu membasahi benang.” Ucap Mama Sariat.
“Waktu itu saya agak marah sebab rencananya saya ingin memberi warna hijau untuk benang tersebut. Namun karena sudah terkena tinta hitam dari cumi, saya pun berniat membuang tinta tersebut.” Lanjut Mama Sariat.
Tidak sampai 5 menit, Mama Sariat pun mengubah pikirannya untuk membuang benang itu. Ia justru menyuruh Bapak untuk membelah cumi-cumi itu dan memeras semua tinta yang ada dalam cumi itu ke dalam sebuah wadah. “Saat hendak membuang benang, saya berpikir jangan-jangan ini cara Tuhan untuk membuat saya mengenal pewarna alami dari hewan atau tanaman laut. Maka dari itu saya tidak jadi membuang benang itu.” Kata Mama Sariat.
Sejak saat itu, ia meminta bapak untuk mengambil beberapa mahluk lainnya untuk diujicobakan, apakah bisa hewan atau tanaman laut memberi warna alami untuk benang. Dan ternyata jawabannya adalah BISA. Kini, warna hijau dan cokelat bisa ia dapatkan dari rumput laut. Warna ungu didapatkan dari teripang dan masih banyak lagi.
Mama Sariat sudah mencintai budaya tenun ikat ini sejak kecil. Kemampuannya menenun dan menguji coba warna ia dapatkan dari orang tuanya. Mama Sariat baru serius membuat pewarnanya sendiri pada tahun 2000. Kini sudah ada 200 lebih pewarna alami buatan Mama Sariat. Tahun 2013 lalu, untuk mengapresiasi semua usahanya, MURI (Museum Rekor Indonesia) menganugerahi Mama Sariat sebagai pembuat warna alami terbanyak untuk kain tenun.
Proses menenunnya sendiri bisa memakan waktu mulai dari 1-2 hari hingga berminggu-minggu, tergantung dari besarnya kain yang ingin dibuat, motifnya, dan kombinasi warna yang digunakan.
Kecintaan dan Amal Baik
Kecintaan Mama Sariat pada budaya tenun ikat ini tidak peru diragukan lagi. Namun bukanlah cinta namanya kalau hanya dipendam sendiri, cinta itu haruslah dibagikan. Dan untuk membagikan kecintaannya akan budaya kain tenun ini, Mama Sariat mengajarkan warga Alor Besar, khususnya wanita, untuk menenun. Ia membentuk suatu kelompok yang dia beri nama Kelompok Tenun Ikat Hula.
Kelompok yang dirintis sejak tahun 2000 ini kini sudah beranggotakan lebih dari 60 orang. Pada kelompok inilah ia mengajarkan bagaimana cara memintal benang yang benar, cara menenun yang baik, cara mengkombinasikan warna dan cara membuat motif khas Alor. “Saya bertahan hidup dari kecil dengan kain tenun. Rasa susah dan senang bersama kain tenun ini sudah saya rasakan. Saya tidak ingin warga merasakan kesusahan yang saya rasakan, biarlah lewat kain tenun ini mereka bisa merasakan sukacita dan mendapatkan tambahan penghasilan dan juga tembahan keterampilan tentunya.” Jelas Mama Sariat dengan penuh semangat.
Dalam 1 bulan, kelompok bentukan ibu dari 6 orang anak ini bisa menghasilkan 60-70 kain tenun ikat. Motif khas Alor melekat di setiap helainya. Lama pengerjaan untuk 1 lembar kain tenun sangatlah bervariasi, tergantung dari besarnya, motifnya, banyaknya warna yang digunakan dan kecepatan si pengrajin. “Kalau untuk ukuran scarf, mungkin 1-2 hari bisa selesai. Tapi kalau yang sebesar gorden bisa memakan waktu berminggu-minggu.” jelasnya.
Harga kain tenun ikat buatan Kelompok Tenun Ikat Hula in dibanderol dengan harga Rp 200.000 – Rp 3.000.000. Peminatnya pun tidak hanya dari dalam negeri saja. Salah satu negara yang rutin memesan kain tenun ikat Mama Sariat adalah Jepang. Motif dan pewarna alami sudah tentu menjadi alasannya.
*****
Sebelum saya pulang, Mama Sariat menunjukkan beberapa foto dirinya kepada saya. Dalam foto-foto tersebut nampak beberapa tokoh terkenal bangsa ini sudah banyak yang mampir ke tempat ini. Bahkan saya melihat ada beberapa foto Mama Sariat sedang berada di Eropa. Usut punya usut, ternyata dia ini sudah beberapa kali diundang ke luar negeri untuk membagikan pengetahuannya tentang kain tenun. Hebat ya?
Sebagai rasa apresiasi saya terhadap karya Mama Sariat ini, sebelum pamit, saya pun membeli 2 kain lagi untuk saya bawa pulang. Kali ini saya tidak menawarnya terlalu keras karena saya pun sadar kalau uang hasil penjualan kain ini digunakan untuk keperluan hidup dari anggota kelompok tenun ini.
Terima kasih Mama Sariat untuk sharing pengalamannya yang luar biasa dan terima kasih juga sudah menjaga salah satu warisan budaya nusantara dari Tanah Alor. Maaf sudah “takut” sebelum mengenalmu, ternyata Mama Sariat ini adalah wanita yang asyik, gaul, dan juga salah satu pahlawan di mata saya.
Imagination is the beginning of creation. You imagine what you desire, you will what you imagine and at last you create what you will.
–George bernard Shaw