Lezatnya Babi Kuah Pasar Gede
Babi Kuah Pasar Gede – Usai menyelesaikan pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho, saya dan Helena tidak langsung pulang ke Jakarta. Kami memutuskan untuk menghabiskan 2 malam di Solo sebelum kembali ke ibu kota yang terkenal akan kemacetannya yang super parah itu.
Secara tidak sengaja, teman saya dari Jakarta, Icha Yahya, ternyata juga sedang berada di Solo. Saya mengetahuinya dari Instastory yang diunggahnya. Rupanya dia sedang mendapat penugasan dari kantornya di tempat Pak Jokowi pernah menjadi wali kota ini. Kami pun segera berhubungan via Whatsapp dan saya mengajaknya untuk bertemu esok hari.
Karena saya sedang libur sedangkan dia sedang bekerja, maka tawaran bertemu pagi hari tidak bisa ia penuhi. Akhirnya, kami memutuskan untuk bertemu sore hari di Es Krim Tentrem.
“Sambil nunggu sore, mendingan lo mampir ke Pasar Gede. Lo suka makan babi, kan? Teman gue yang tinggal di sini bilang kalau ada babi kuah yang enak banget di Pasar Gede. Bukanya jam 10:00 WIB dan selalu rame. Jadi belinya itu antri dan makannya pun juga berdiri. Jangan sampai telat, nanti keburu kehabisan.” Tulisnya lewat aplikasi tersebut.
Membaca pesan tersebut, saya pun senyum sendiri. Ternyata ada juga ya yang jualan babi di Solo ini. Teman saya yang satu itu memang tahu kesukaan saya. Usai mengucapkan terima kasih, saya pun mengakhiri chat tersebut dan bersiap tidur agar besok pagi tidak kehabisan daging babi di Warung Babi Kuah Pasar Gede.
Perjalanan ke Pasar Gede
Pagi hari, sekitar pukul 10:00 WIB, saya sudah siap lahir dan batin untuk menyantap daging babi tersebut. Kelezatannya sudah terbayang sejak semalam dan dahaga tersebut harus segera dituntaskan. Saya pun sengaja sarapan tidak terlalu banyak pagi itu karena saya tahu kalau sudah soal makan babi, saya tidak bisa makan sedikit.
Dengan menggunakan ojek online, saya dan Helena berangkat menuju Pasar Gede Hardjonagoro yang jaraknya kurang lebih 5 KM dari tempat kami menginap. Dengan sigap driver ojol mengantar kami ke tujuan. Kurang dari 15 menit, kami berdua pun tiba di pasar tradisional tertua di kota ini yang dibangun oleh Pakubuwono X pada tahun 1923.
Ternyata tidak mudah untuk menemukan lokasi Warung Babi Kuah Pasar Gede ini dengan hanya berbekal info “warung babi kuah yang enak banget” tanpa ada koordinat yang jelas. Saat saya bertanya kepada Icha dimana letak lokasi persisnya, dia pun hanya menjawab di Pasar Gede. Ya saya juga tahu, tapi Pasar Gede itu gede banget seperti namanya.
Saya dan Helena pun lantas masuk ke dalam area pasar dan dengan cepat dibuat bingung oleh ramainya lapak pedagang dan banyaknya pembeli di dalam pasar tersebut. 10 menit mengelilingi area dalam pasar, kami berdua belum juga menemukan lokasi warung babi kuah tersebut.
Kami berdua memang sengaja tidak bertanya, kami ingin berusaha sendiri terlebih dahulu. Mau bertanya pun sebenarnya tidak enak, masa iya sih bertanya soal daging babi ke penjual yang rata-rata berkerudung. Rasanya seperti ada yang kurang pas saja bertanya soal makanan favorit saya itu kepada mereka.
Akhirnya kami keluar pasar dan bertanya pada seorang juru parkir. Dia pun mengarahkan kami untuk berjalan ke arah Toko Podjok.
“Jadi dari pintu masuk Pasar Gede yang ada tulisannya ‘Pasar Gede’ itu, Kalian jangan masuk. Berjalanlah ke arah kiri mengikuti trotoar hingga ke ujung area pasar. Di bagian ujung itulah, tepat di depan Toko Podjok itu, penjual Babi Kuah Pasar Gede berada. Tidak jauh dari Halte Pasar Gede Barat” Jawabnya dengan Bahasa Indonesia namun aksen Solonya masih begitu terasa.
Mendapat arahan yang jelas seperti itu, kami pun bergegas ke sana dengan tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Menyantap Babi Kuah Pasar Gede
Benar saja apa yang diucapkan Icha. Sesampainya kami Warung Babi Kuah Pasar Gede itu, beberapa orang sudah terlihat mengantri. Tidak terlalu ramai memang, tapi cukup membuat saya kaget. Mengapa? Karena Warung Babi Kuah Pasar Gede ini tidaklah besar seperti yang saya bayangkan.
Jadi warungnya itu sebenarnya adalah warung pikulan, dengan hanya 3 kursi plastik tempel untuk tempat pelanggannya duduk. Jadi kalau 3 kursi itu sudah terisi penuh, ya yang lainnya harus berdiri. Letaknya persis di ujung pasar bagian luar. Saya pun dengan sabar berdiri menanti giliran saya untuk dilayani.
Ketika memasuki giliran saya, sang ibu penjual daging babi yang sudah tidak muda lagi itu pun bertanya, “Mau dicampur, mas?”
“Iya, campur saja.” Jawab saya sopan.
Dengan cekatan ibu itu mengambil beberapa potong daging babi dari panci di depannya, kemudian diletakkan di talenan untuk dia potong kecil-kecil. Usai dipotong kecil-kecil, potongan daging itu diletakkan di atas daun pisang yang dibungkus dengan kertas nasi.
Tiba-tiba ibu itu kembali bertanya pada saya, “Mau pakai darah, mas?”
Karena sudah terbiasa makan daging babi pakai darah, maklum biasa makan saksang di kampung mama di Sumatera Utara, saya pun mengiyakan tawaran ibu tersebut.
Ibu penjual itu pun langsung mengambil semcam potongan daging berwarna merah, lalu memotongnya kotak-kotak dan meletakkannya di atas daging babi. Setelah itu, dia menyerahkan potongan daging babi itu kepada asisten di belakangnya untuk diberi kuah, sebelum diberikan kepada saya.
Mendapat babi yang sudah saya idamkan sejak semalaman, saya pun begitu antusias untuk menyantapnya. Tapi saya masih bingung, tadi si ibu bilang kalau daging babi ini diberi darah, tapi kenapa tidak ada darahnya? Namun pertanyaan dalam hati tersebut saya abaikan dan lekas menyantap daging babi tersebut.
Babi Kuah Pasar Gede ini enak banget. Potongan dagingnya tidaklah terlalu besar. Lemaknya enak, kulitnya mantap dan dagingnya juga empuk. Saat masuk mulut, dagingnya mudah dikunyah. Dagingnya pun tidak berbau amis. Saya sendiri tidak tahu bumbu apa yang diletakkan pada kuahnya, tapi kuahnya itu agak manis, tidak pedas.
Jujur saya agak kewalahan menghabiskan Babi Kuah Pasar Gede ini karena porsinya cukup banyak. Meskipun banyak, harganya murah banget lho. Hanya Rp 15.000 saja per porsi.
Dari menu babi kuah tersebut, ada 1 bagian yang saya kurang begitu suka, yaitu daging yang agak kemerahan tadi. Rasanya seperti ati setelah saya cicipi. Rupanya itulah darahnya. Jadi di sini itu darah babi disajikan dalam keadaan beku atau yang lebih dikenal dengan istilah saren. Saya pikir bentuk darahnya itu cair seperti yang biasa saya makan di Sumatera, rupanya tidak.
Dalam satu hari, si ibu bisa menjual lebih dari 50 Kg daging babi lho. Saat saya sedang asyik menyantap daging babi ini pun pelanggannya terus berdatangan. Dagangan si ibu laris manis rupanya. Bahkan dagangan si ibu sudah hampir habis ketika saya hendak berpamitan dan memuji kelezatannya, padahal waktu baru mau memasuki pukul 12:00 WIB.
Terima kasih Solo sudah menyuguhkan kuliner yang lezat banget menurut saya. Letaknya pun tidak perlu sembunyi-sembunyi sehingga saya dan penikmat babi lainnya bisa menemukannya dengan mudah. Terus begini ya Pasar Gede, akur-akur kalian (penjual) di sana.
Dan buat si ibu penjual Babi Kuah Pasar Gede yang saya lupa namanya, sehat terus ya, bu. Sampai jumpa di kunjungan saya selanjutnya 🙂
Catatan: Di sini bisa request ya kalian mau makan bagian apanya.
Kalau tidak suka kulit, maka kulitnya bisa disingkirkan dan diganti
dengan bagian yang kalian suka (kalau masih ada)
I’m such a foodie. If I see a pork chop, I’m eating it.
–Josh Henderson