Mau Mendaki Gunung Lawu via Cetho? Ini Jalur yang Harus Kalian Lalui
Gunung Lawu via Cetho – Selalu menyenangkan rasanya bisa mendaki gunung, menggapai puncaknya, dan kembali ke rumah dengan selamat, meskipun gunung yang didaki adalah gunung yang sama, yang pernah didaki sebelumnya. Itulah yang saya rasakan ketika kembali mendaki Gunung Lawu, gunung yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pertama kali mendaki gunung ini pada tahun 2016, jalur yang saya pilih adalah via Cemoro Sewu.
Akhir Maret 2019 kemarin, saya kembali mendaki Gunung Lawu yang menurut orang adalah gunung yang mistis, tapi kali ini jalur yang saya pilih adalah jalur Cetho. Meski puncaknya sama, tapi kalau pergi dengan orang yang berbeda dan jalur yang berbeda, pasti cerita dan sukacitanya pun beda.
Dan berikut ini adalah sedikit pengalaman pendakian Gunung Lawu via Cetho yang ingin saya bagikan dengan kalian. Pengalaman kali ini lebih menceritakan tentang jalur yang harus kalian lalui mulai dari pos pendaftaran hingga puncaknya.
Pos Pendaftaran Pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho (1496 MDPL) – Candi Kethek (1500 MDPL)
Jangan tertipu dengan namanya. Meskipun terdapat kata Candi Cetho dalam pendakian Lawu ini, kalian hanya akan melihat gerbangnya yang fenomenal itu, melewati bagian sampingnya dan tidak masuk ke bagian candinya. Jika ingin memasuki area Candi Cetho dan menikmati pemandangan dari atas candi yang indah itu, ada biaya tiket terpisah yang harus kalian bayarkan.
Dari lokasi parkir kendaraan, ikuti papan penunjuk untuk menuju ke Pos Pendaftaran Pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Setibanya di sana, terdapat basecamp RECO (Relawan Ceto) yang bisa kalian gunakan sebagai tempat untuk bersiap-siap, sementara pemimpin grup melakukan pendaftaran pendakian.
15 menit berjalan dari Pos Pendaftaran Pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho, kalian akan berjumpa dengan Candi Kethek. Candi ini merupakan candi peninggalan kerajaan Majapahit dengan 4 terasnya yang bertingkat. Dulunya di sini terdapat banyak sekali monyet (sesuai dengan namanya). Jalur pendakian menuju Candi Kethek ini masih semen dan batu dan masih relatif mudah untuk dilalui.
Candi Kethek (1500 MDPL) – Pos 1 Mbah Branti (1702 MDPL)
Di Candi Kethek ini, udara masih sangat segar dan kalian masih bisa melihat area perkebunan warga di sini. Mulai dari titik ini, perjalanan mulai menanjak pelan. Jalur yang tadinya semen dan berbatu mulai berubah menjadi tanah yang di kiri dan kanannya dipenuhi pepohonan dan rerumputan.
Sampai di sini, semangat masih berapi-api dan optimisme akan cepat sampai di area perkemahan pun masih tinggi. 40 menit berjalan dari Candi Kethek dengan langkah yang santai, kalian akan tiba di Pos 1 dengan nama Mbah Branti. Shelter di sini bentuknya sangat sederhana, temboknya terbuat dari spanduk bekas dengan papan nama yang menggantung di ujung kanan atapnya.
Pos 1 Mbah Branti (1702 MDPL) – Pos 2 Brakseng (1902 MDPL)
Berlanjut lagi ke rute pendakian Gunung Lawu via Cetho selanjutnya, kali ini kalian harus berjalan selama kurang lebih 60 menit untuk bisa sampai ke Pos 2, Brakseng. Jalur yang harus dilalui masih mirip-mirip seperti ketika berjalan dari Candi Kethek menuju Mbah Branti, hanya saja pepohonan yang akan kalian jumpai akan semakin besar dan ilalang tumbuh lebih tinggi.
Setibanya di Pos 2, Brakseng, kalian juga akan menjumpai shelter di pos ini, namun kali ini lebih mewah. Tembok shelter di pos 2 kali ini terbuat dari seng, bukan lagi dari sisa spanduk. Letak shelter di Brakseng ini persis di bawah sebuah pohon besar. Luas wilayahnya pun hampir serupa seperti di Mbah Branti. Jujur, sampai titik ini saya penasaran dengan nama pos 1 dan pos 2 yang cukup unik ini. Siapa yang memberikannya ya dan apa arti dibalik setiap nama itu?
Pos 2 Brakseng (1902 MDPL) – Pos 3 Cemorodowo (2251 MDPL)
Setibanya di Pos 2 ini, beristirahatlah dengan baik, sebab perjalanan berikutnya tidak lagi sama. Jalur dari Pos 2 ke Pos 3 ini adalah jalur yang terpanjang menurut saya. Meskipun hanya naik sejauh 250an meter, tapi sudut elevasinya cukup besar dan waktu yang kalian tempuh bisa sampai 2 jam lho.
Sebenarnya, dari awal, jalurnya memang sudah menanjak, hanya saja dari Pos 2 ke Pos 3 ini tidak ada bonusnya, full menanjak. Namun kabar baiknya adalah di antara Pos 2 dan Pos 3 ini terdapat sumber air yang debit airnya cukup banyak, jadi kalian bisa memanfaatkannya untuk istirahat dan mengisi botol kalian. Ingat, hanya di sini saja terdapat sumber air yang bersih ya.
Jika ingin membangun tenda di Pos 3, Cemorodowo, lahannya memang lebih besar dari Pos 2 dan Pos 1. Tapi saya sih tidak menyarankan untuk membangun tenda di sini. Rupa shelter di Pos 3, Cemorodowo, ini pun masih serupa dengan yang ada di Pos 2, kecil dan sederhana.
Pos 3 Cemorodowo (2251 MDPL) – Pos 4 Penggik (2551 MDPL)
Jika kalian berpikir kalau jalur ke Pos 3 ke Pos 4 ini akan lebih santai, maka kalian salah. Menuju Pos 4, Penggik, tanah tempat berjalan akan semakin dihiasi oleh akar-akar dari pepohonan sekitar. Sudut elevasi pun bisa mencapai 40an persen.
Waktu tempuhnya kurang lebih sama seperti dari Pos 2 ke Pos 3. Usai 90 menit – 120 menit berjalan, kalian akan menemukan shelter di sebelah kiri yang lagi-lagi temboknya terbuat dari seng. Dalam panduan pendakian, dikatakan bahwa Pos 4 adalah Camping Area. Tapi menurut saya Pos 4 ini tidak layak disebut sebagai camping area karena tempat ini hanya mampu menampung kurang lebih 3-4 tenda ukuran sedang.
Dari ketinggian di Pos 4 ini, pemandangan hutan yang cantik di bawah sana mulai terlihat. Namun awan masih sedikit malu-malu untuk tampil dan menyapa.
Pos 4 Penggik (2551 MDPL)- Pos 5 Bulak Peperangan (2850 MDPL)
Meski belum berakhir, namun penderitaan kini jauh lebih ringan. Dalam perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 5 ini, kalian akan menjumpai beberapa bonus (jalur landai), namun jalur menanjak tetap akan mendominasi. Tetap berhati-hati karena tak jarang di sebelah kiri jalan, kalian akan mendapati jurang yang cukup dalam.
Bila kalian ingin bermalam dan membangun tenda, Pos 5 Bulak Peperangan ini adalah tempat yang paling tepat. Baik sebelum Pos 5, di area Pos 5 atau setelah Pos 5 nya sendiri terdapat area datar yang sangat luas yang bisa menampung hingga puluhan, atau mungkin ratusan tenda.
Tidak ada shelter di pos 5. Papan penunjuk Pos 5 berada tepat di bawah sebuah pohon besar. Salah satu alasan lain mengapa kalian harus bermalam di sini, selain karena areanya yang luas, adalah di pos 5 inilah letak savana cantik berada. Bangun pagi dengan pemandangan savana elok yang berada di antara 2 bukit merupakan pemandangan yang tidak akan pernah bisa kalian lupakan.
Oh ya, jarak dari Pos 4 ke Pos 5 kurang lebih 70- 90 menit.
Pos 5 Bulak Peperangan (2850 MDPL) – Gupak Menjangan (2952 MDPL)
Sebenarnya sulit untuk meninggalkan Pos 5 ini sebab savananya itu cantik dan menenangkan banget, tapi show must go on. Berjalan dari Bulak Peperangan menuju ke pos selanjutnya, Gupak Menjangan, kalian akan melewati salah satu savana yang paling memesona di bumi Indonesia dan kemudian bertemu dengan tanjakan yang cukup ringan.
Ini adalah satu-satunya tanjakan yang akan kalian nikmati untuk kemudian tiba di Gupak Menjangan. Jarak tempuh antar pos ini merupakan jarak yang paling pendek ketiga, kurang lebih hanya 30 menit. Sama halnya seperti Pos 5, Bulak Peperangan, Gupak Menjangan ini tidak memiliki shelter dan merupakan camping area. Jadi kalau tidak kebagian tempat di Pos 5, kalian bisa membangun tenda di sini.
Di Gupak Menjangan ini pun sebenarnya ada air, sayangnya tidak bersih. Jadi untuk kalian yang ingin mengambil air di Gupak Menjangan, ada sebuah telaga yang airnya harus diendapkan terlebih dahulu untuk memisahkan kotoran dengan air bersih sebelum airnya bisa kalian minum. Pada sumber air di Gupak Menjangan ini pula kalian harus berbagi air dengan hewan yang ada di sini, seperti Menjangan contohnya.
Gupak Menjangan (2952 MDPL) – Pasar Dieng (3104 MDPL)
Berjalan dari Gupak Menjangan menuju Pasar Dieng, kalian masih akan melewati padang savana. Buat saya pribadi, padang savana di Bulak Peperangan masih lebih indah dibandingkan di sini, haya saja poin tambah dari padang savana di sini adalah luasnya yang kebangetan.
Pagi hari (dibawah pukul 09:00 WIB) adalah salah satu waktu paking baik untuk menikmati savana ini. Kenapa? Karena kabut belum mulai berdatangan dan menutupi pesonanya. Batas vegetasi savana ini terletak di tanjakan pertama sebelah kanan saat menuju Pasar Dieng.
Jadi ketika menuju Pasar Dieng, kalian akan kembali melewati jalur yang bertanah dan berakar, dengan ditemani pemandangan savana di sebelah kiri, yang semakin lama akan semakin menghilang seiring semakin tingginya kalian berjalan.
Jika sepanjang Bulak Peperangan hingga Gupak Menjangan, pohon yang mendominasi diantara sabana yang luas adalah Pinus, di Pasar Dieng ini pohon yang ada adalah pohon Cantigi, bahkan kalian juga bisa menemukan Edelweiss. Pohon-pohon pendek ini tumbuh diantara bebatuan yang memang mendominasi medan ini. Jarak tempuh Pasar Dieng dari Gupak Menjangan sendiri kurang lebih 30-45 menit saja.
Pasar Dieng (3104 MDPL) – Hargo Dalem (3170 MDPL)
Langit sudah terbuka dengan lebarnya di Pasar Dieng. Jika berjalan terus dan melihat ke depan, Hargo Dalem bisa terlihat dari kejauhan.
Namun yang perlu diketahui, ada mitos “seru” tentang Pasar Dieng ini. Konon kabarnya, Pasar Dieng ini merupakan gerbang masuknya mahluk-mahluk gaib yang menghuni gunung ini. Pasar Dieng di Gunung Lawu ini mungkin bisa disamakan dengan Pasar Bubrah di Gunung Merapi.
Saat di pos pendaftaran, seorang petugas berpesan agar tidak melanjutkan perjalanan jika saat sampai di Pasar Dieng kabut turun dengan lebatnya, sehingga menghalangi pandangan mata. Mungkin kabut di Pasar Dieng ini bisa menjadi indikator juga kalau di atas sana (Hargo Dalem) juga sedang dalam keadaan berkabut.
Kalau saya sih tidak menyarankan untuk berkemah di Pasar Dieng. Bukan karena cerita mistisnya, tapi karena tidak adanya pepohonan besar di sini. Angin sering berhembus dengan hebatnya dan kabut pun begitu juga.
Jarak dari Pasar Dieng menuju Hargo Dalem kurang lebih hanya 15 menit saja. Hargo Dalem sendiri merupakan salah satu puncak di Gunung Lawu, hanya saja bukan puncak yang tertinggi. Di hargo Dalem ini terdapat sebuah pondok untuk melakukan ritual seperti berdoa, semedi, atau semacamnya. Hargo Dalem dipercaya sebagai tempat moksa-nya (mencapai kesempurnaan) Prabu Wijaya V dari kerajaan Majapahit.
Hargo Dalem (3170 MDPL) – Puncak Lawu Hargo Dumilah (3265 MDPL)
Di sebelah tempat melaksanakan ritual yang sudah saya ceritakan sebelumnya, masih di sekitar Hargo Dalem, terdapat banyak sumber air. Sayangnya sumber air di sini bentuknya kemasan dan harus mengeluarkan uang untuk mendapatkannya alias bayar.
Ya, terdapat banyak warung yang siap melayani kalian dengan minuman seeprti Aqua, Pocari dan minuman dengan rasa lainnya. Saran saya, cobain deh minum Nutrisari di puncak ini, nikmat banget. Tidak hanya itu, makanan khas pedesaan seperti nasi pecel dan gorenganjuga bisa kalian temui di sini. Salah satu warung yang paling terkenal di sekitar Hargo Dalem ini adalah milik Wagiyem atau yang lebih dikenal dengan nama Mbok Yem.
Tidak sulit untuk menemukannya karena terdapat spanduk besar bertulisan namanya di depan warungnya dan juga seekor monyet peliharaannya di bagian depan warung. Belum sah kalau mendaki Lawu dan mencicipi nasi pecel di warung tertinggi di Indonesia ini. Dari Hargo Dalem, perjalanan menuju puncak hanya sekitar 15 menit lagi dengan medan yang cukup terjal.
Untuk kalian yang melakuan pendakian lintas jalur (misal: naik Cetho, turun Cemoro Sewu), saran saya adalah titip carrier kalian di warung yang ada di Hargo Dalem. Lakukanlah pendakian ke puncak tertinggi, Hargo Dumillah, dengan tanpa beban di pundakmu. Jangan lupa untuk membawa air dan peralatan lain secukupnya.
Puncak Tertinggi, Hargo Dumillah (3265 MDPL)
Masih sama seperti di Pasar Dieng, tanaman yang akan mendominasi di sekitar jalur menuju puncak adalah pohon Cantigi. Jalurnya sangat jelas dan kemungkinan untuk tersasar sampai ke puncak itu kecil sekali. Setibanya di puncak, sebuah monumen dengan 4 sisi yang salah satunya bertuliskan “Puncak Lawu Hargo Dumillah 3265 DPL” akan menyambutmu. Puaskanlah hasratmu dan bersyukurlah karena kalian sudah menggapai puncak tertingginya.
Nikmatilah momen-momen indah di sini dimana awan putih dan langit yang biru berkolaborasi dengan hijaunya dedaunan dan monumen yang berdiri gagah ini. Selamat, kalian sudah sampai puncak. Ingat terus untuk tetap menjaga kebersihan gunung ini dan jangan melakukan aksi vandalisme di atas sini ya.
https://www.instagram.com/p/Bvx6i8KHWrC/
******
Kurang lebih itulah sedikit cerita yang bisa saya bagikan untuk kalian yang ingin melakukan pendakian Gunung Lawu via Cetho. Semoga informasinya bisa berguna ya.
Ingat, puncak bukanlah segalanya. Kembali ke rumah dengan selamat dan bertemu dengan orang-orang yang kalian cinta adalah tujuan akhirnya 🙂
Bila ada yang ingin ditanyakan, jangan ragu untuk menuliskan pertanyaannya di kolom komen ya 🙂
Tambahan
Bagaimana cara menuju Candi Cetho dari Solo dan berapa biaya simaksinya? Sila kalian membacanya DI SINI
Sometimes you climb the mountain, and you fall and fail. Maybe there is a different path that will take you up. Sometimes a different mountain.
–Caterina Fake