Holhara Ranu Hitu: Benteng 7 Lapis yang Dipenuhi Nuansa Mistis
“Sudah selesai belum? Yuk, kita kembali saja ke Atambua.” Ucap Chris yang sedang duduk sambil mengenakan kain tenun berwarna kuning motif Alor di pusat Holhara Ranu Hitu, atau dalam Bahasa Indonesianya adalah Benteng 7 Lapis. Kurang lebih sudah 15 menit ia duduk di tengah benteng itu, tidak jauh dari batu yang persis berada di tengahnya.
“Sabar. Jangan banyak bergerak. Kalau banyak bergerak, nanti hasil fotonya jelek.” Jawab saya. “Tetap diam di tengah ya. Tinggal sedikit lagi kok.” Tambahku. Saat itu Chris memang sedang menjadi objek foto bagi saya dan Billy. Warna Kuning dari kain tenun yang menyala di tengah benteng batu melingkar yang mulai kehijauan akibat diselimuti lumut ini menimbulkan hasil yang sangat menyatu. Cantik sekali.
Setelah melakukan beberapa kali jepretan, perasaan tidak nyaman ternyata juga dirasakan oleh Billy. Entah kenapa dia merasa kalau banyak orang yang sedang yang mengawasinya. Padahal secara fisik, hanya kami bertiga yang ada di sana. Saya, Chris, dan Billy.
“Yuk, Kita pulang saja. Perasaan saya juga sudah tidak enak.” Ajak Billy. Melihat kedua teman saya yang sudah tak nyaman, sementara saya tidak merasakan apapun, akhirnya saya memutuskan untuk menyudahi sesi pemotretan kali itu. Tidak enak juga rasanya melihat guratan di wajah mereka yang mulai muncul akibat rasa khawatir yang tidak jelas alasannya.
Fulan Fehan dan Benteng 7 Lapis
Mata ini masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kami nikmati di Fulan Fehan. Bentangan sabana hijau, luas dan cantik berisi beberapa kuda poni dengan berlatarkan kaki Gunung Lakaan yang megah benar-benar di luar ekspektasi kami. Saya, Chris dan Billy pun tidak menyangka kalau ada permata sebagus ini di Belu, tempat yang awalnya kami anggap daerah yang cukup tandus. Kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan langka bermain di Fulan Fehan ini.
Usai menikmati udaranya yang segar, mengambil gambar beberapa kuda poni yang berlari bebas tanpa ada tali yang mengikat di badan dan kepalanya bak kuda-kuda yang biasa saya lihat menarik delman, saya, Chris dan Billy, yang ditemani oleh Ardi, supir kami, berjalan pelan menuju sudutnya yang lain. Di sana ada sebuah objek wisata yang bernama Benteng Makes, atau dalam bahasa sana biasa disebut dengan Holhara Ranu Hitu (Benteng 7 Lapis).
Dari kejauhan, lapisan pertama dari Holhara Ranu Hitu ini sudah terlihat jelas. Bebatuan alami disusun secara horizontal dengan ketinggain mencapai 1,5 meter dan di bagian tengahnya ada rongga yang sepertinya merupakan pintu masuk. Di belakang lapisan pertama itu, pohon-pohon besar berdiri dengan gagahnya dan memberikan kesan kalau benteng itu penuh sesak. Dari balik pepohonan itu, nampak samar-samar barisan kedua dari Benteng 7 Lapis yang letaknya sedikit lebih tinggi.
Sebelum masuk, Ardi meminta uang kertas kepada kami. Saya pun menyerahkan uang pecahan Rp 20.000 padanya dan ia meletakkan uang tersebut di bawah salah satu batu yang ada di lapisan benteng paling depan sambil mengucapkan doa. “Uang dan doa yang saya ucapkan ini merupakan cara untuk menghormati leluhur yang ada di sini.” Ucap Ardi. Selesai mengucapkan doa, kami pun mulai masuk ke dalam melalui celah yang ada di lapisan pertama tersebut.
Rupanya bukan hanya pepohonan, rumput-rumput liar pun sudah tumbuh di dalam benteng ini. Terlihat sekali kalau memang tidak ada yang merawat benteng ini. Jarak antar lapisan pun semakin lama semakin tinggi, jadi untuk sampai ke lapisan paling atas atau lapisan ketujuh, perjalanannya agak menanjak. Sulitnya lagi, gerbang masuk antar lapisan itu tidak linier, sehingga dari satu lapisan ke lapisan lainnya, kami harus berjalan ke kiri dan ke kanan untuk menemukan rongga atau celah menuju lapisan berikutnya.
Suasana begitu tenang di benteng ini. Suara yang muncul hanyalah dari dedaunan yang bergoyang tertiup angin lalu saling bersentuhan dan juga langkah kami. Semakin ke atas, area benteng semakin kecil. Hingga akhirnya di lapisan ketujuh, terpampanglah benteng batu melingkar dengan tinggi 1 meter dan area cukup besar di dalam lingkaran tersebut. Hanya di bagian tengah inilah yang tidak ditumbuhi pohon sama sekali. Kalau dilihat-lihat, diameter lingkaran di lapisan ketujuh ini ±10 Meter.
“Benteng ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Dulu benteng ini digunakan sebagai tempat untuk merencanakan penyerangan, musyawarah, dan juga bertahan dari serangan musuh waktu perang antar suku masih sering terjadi.” Kata Ardi. “Sekarang ini, benteng ini dibiarkan begini saja dan sesekali digunakan untuk upacara adat seperti ritual adat pasca panen atau adanya rumah adat yang ingin dibangun di Dirun.” Tambah Ardi.
Selepas menceritakan sedikit tentang Holhara Ranu Hitu, Ardi pun pamit ke bawah, ke lapisan benteng terluar, dan membiarkan kami untuk mengeksplor Benteng 7 Lapis ini.
Lapisan ketujuh ini sungguh unik. Di atas batu kokoh yang melingkar ini, di seblah pintu pintu masuk, terdapat sebuah meriam yang bentuknya masih utuh. Kalau saya lihat, tidak mungkin meriam ini kepunyaan Raja Dirun pada jaman dahulu. Pasti milik penjajah yang mampir ke sini dan menemukan benteng ini lalu merampasnya dari warga Dirun.
Keunikan lainnya adalah terdapat beberapa batuan yang mencuat di atas bebatuan yang melingkar ini bak menhir. Pada salah satu bagian, di dekat batu yang mencuat paling tinggi, terdapat tempat seperti alas untuk duduk. Saya rasa ini dulunya merupakan tempat duduk bagi raja. Di area bagian tengah, terdapat batu dengan tinggi ±30 cm yang sepertinya memang sengaja diletakkan di tengah-tengah lingkaran.
Tepat di belakang batu yang berdiri paling tinggi, dekat dengan pintu keluar lapisan ketujuh, ada sebuah sarkofagus. Dan di belakang Sarkofagus itu ada bebatuan lainnya yang juga tersusun cukup rapi. Kalau dilihat dari bentuknya, sepertinya bebatuan yang tersusun seperti meja itu merupakan tempat yang digunakan untuk meletakkan persembahan pada jaman dulu.
Di bagian luar benteng lapis ketujuh ini, tidak jauh dari sebuah pohon besar, terdapat sebuah area kosong dengan pemandangan di depannya berupa perbukitan dan pedesaan. Saya menghabiskan beberapa menit untuk berdiam di titik itu sambil memandang ke depan dan membayangkan mungkin dulunya tempat ini, dari atas puncak Bukit Makes ini, raja memantau para pasukannya dan juga memainkan genderang perang.
Imajinasi ini pun semakin liar. Setelah puas memandang ke arah bawah, pandangan ini pun saya alihkan kembali ke benteng melingkar itu. Saya pun membayangkan sebuah kondisi dimana raja bersama beberapa orang penting duduk di atas bebatuan itu untuk membicarakan rencana perang dan beberapa warga duduk sambil memperhatikan rajanya di area tengah. Entah dari mana imajinasi itu berasal. Hal tersebut muncul begitu saja. Rasanya sedikit cerita dari Ardi tadi yang membuat saya bisa membayangkan peristiwa tersebut.
Tak ingin terbuai terlalu lama dalam lamunan imajinasi dunia Kerajaan Dirun pada jaman dulu, saya pun segera mengabadikan tempat ini lewat kamera yang saya bawa. Billy dan Chris pun solah tak mau kalah, mereka juga mengeluarkan kamera milik mereka.
Kurang lengkap rasanya kalau tidak ada orang sebagai objek foto di tengah benteng ini. Berhubung wajah dan bentuk badan kami yang kurang menarik, akhirnya saya dan Billy, dengan secara sepihak, meminta Chris untuk menjadi objek kami. Lantas kami memintanya untuk membuka baju dan menutupi tubuhnya dengan kain tenun motif Alor berwarna kuning. Selama kurang lebih 15 menit, Chris duduk diam di sebelah batu yang berada di bagian tengah. Saya dan Billy pun sibuk bergerak guna mencari sudut terbaik untuk mengambil gambar Chris dengan latar benteng lapis ketujuh ini.
Cerita dibalik Holhara Ranu Hitu
Dalam perjalanan pulang kembali ke Atambua, usai mengunjungi Holhara Ranu Hitu dan Fulan Fehan, Ardi pun bertanya, “Bagaimana tadi bentengnya? Seram tidak? Kalau unik sih sudah pasti.”
“Iya, kok agak horor ya. Seperti ada yang menemani kami.” Sambung Chris dengan semangat menjawab pertanyaan Ardi.
“Jadi memang ada yang ingin saya ceritakan tentang tempat itu, tapi bukan di benteng itu. Lebih enak kalau ceritanya di perjalanan pulang seperti ini, setelah berkunjung dari sana.” Jawab Ardi dengan sedikit senyum.
“Benteng itu memang dipenuhi oleh para arwah para leluhur dan proses terciptanya benteng ini pun tidak lepas dari bantuan arwah para leluhur tersebut. Siang hari dikerjakan oleh manusia dan malam harinya para arwahlah yang mengerjakannya. Benteng ini dibangun selama kurang lebih 7 hari 7 malam. Jadi wajar saja kalau kalian merasa ada yang menemani.” Tungkas Ardi.
“Bagian benteng lapis ketujuh, yang bentuknya seperti pagar batu melingkar, itu disebut dengan Saran Mot. Di bagian gerbang masuknya, terdapat sebuah meriam yang merupakan peninggalan, entah Portugis atau Jepang. Kalau kalian perhatikan dengan teliti, ada satu batu yang tinggi dengan tempat menyerupai tempat duduk di atas benteng tersebut. Itu adalah singgasana Raja Suku Uma Metan. Dulu, bila sedang berkumpul, raja akan duduk di sana.” Jelas Ardi.
“Kalian tidak ada yang duduk di sana, kan? Karena masyarakat Dirun percaya kalau barangsiapa yang duduk di sana, maka ia akan mendapatkan malapetaka.” Kata Ardi.
Dengan sambil menengok satu sama lain, saya, Chris dan Billy pun bersyukur karena memang tidak ada salah satu dari kami yang duduk di singgasana itu tadi.
Ardi melanjutkan kalau makam yang ada di belakang singgasana, atau dekat dengan pintu keluar Saran Mot, merupakan makam dari Raja Dirun 1 (Raja Laki-laki), Dasi Manu Loeq. Terdapat juga makam raja perempuan di sebelahnya yang dikenal dengan sebutan Na’i Pana.
“Yang seru itu adalah cerita dibalik penempatan batu di tengah Saran Mot. Batu di tengah itu dulu digunakan untuk meletakkan kepala musuh yang berhasil dikalahkan. Jadi ketika Meo atau panglima yang turun untuk berperang dan menang, biasanya akan membawa kepala musuh yang diletakkan di situ. Bila peristiwa itu terjadi, maka akan ada tarian yang dilakukan oleh warga. Warga laki-laki akan menarikan Tari Likurai, sedangkan warga perempuan akan menarikan Tari Bidu.” Tambah Ardi.
Selesai Ardi menceritakan hal itu, saya dan Billy pun langsung memandang secara bersamaan ke arah Chris yang terlihat shocked. Rupanya perasaan aneh yang dialami Chris itu karena dia duduk tepat di atas tempat untuk meletakkan kepala musuh. Entah berapa banyak kepala yang sudah diletakkan di sana dan berapa banyak arwah yang mengelilingi bebatuan itu.
Sebenarnya, saya pun merasa ketakutan saat berjalan keluar benteng itu. Saya melihat ada tengkorak sapi di atas pohon. Nggak ngerti deh itu tengkorak sapi atau manusia. Usai melihatnya, saya langsung menunduk dan berjalan dengan cepat dengan arahmata memandang ke depan.
“Tapi perjalanan kalian itu termasuk bagus. Para arwah leluhur menerima kalian dengan baik, karena tidak semua orang lho bisa masuk ke dalam benteng itu. Bila sedang tidak baik kondisinya, kabut tebal akan turun dan menutupi benteng itu hingga tidak kelihatan sama sekali.” Ucap Ardi mengakhiri obrolan panjang mengenai Holhara Ranu Hitu.
Tanpa terasa, mobil yang dipacu dengan cukup cepat itu pun tiba di Atambua. Kami bertiga merasa senang bercampur takut bisa berkunjung ke Benteng 7 Lapis itu. Terima kasih Holhara Ranu Hitu untuk kejutan-kejutan pasca kunjungan ke sana. Di luar dari hal-hal mistis yang ada di sana, saya rasa benteng ini bisa dikembangkan menjadi salah satu prioritas tempat wisata unggulan oleh Pemda Kabupaten Belu.
*****
Agustus 2018
Desa Dirun, Kecamatan Lakmanen, Kabupaten Belu, NTT
42 KM dari Atambua