Mempelajari Kekayaan Laut Maluku di Koleksi Kelautan Museum Siwalima
Hari itu adalah hari terakhir saya dan Helena berada di Ambon. Usai menikmati keindahan alam Pulau Kei di Maluku Tenggara dan sebagian kecil Ambon selama kurang lebih 7 hari (kisah lengkapnya bisa dibaca DI SINI), tibalah waktunya mengucapkan selamat tinggal kepada liburan dan tanah manise ini.
Sebenarnya saya enggan untuk meninggalkan tanah dengan pemuda dan pemudinya yang bersuara merdu ini. Memori indah akan lanskap pegunungan dan keeksotisan pantainya sungguh membuat saya tak ingin beranjak. Tapi mau bagaimana lagi, kami harus kembali ke ibu kota dan kembali bekerja keras bagai kuda demi sejumlah uang untuk liburan berikutnya.
Penerbangan pulang kami pukul 15:30 WIT, masih ada sekitar 7,5 jam lagi sebelum si burung besi itu mengantarkan kami kembali ke daerah dimana banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia menggantungkan hidup, Jakarta. Sungguh sayang rasanya kalau hanya berdiam diri menunggu waktu habis perlahan-lahan tanpa melakukan apa-apa. Dengan cepat tangan ini merengkuh telepon genggam yang sedang diisi dayanya. Halaman pencarian pun langsung saya buka.
Selama 7 hari, saya dan Helena sudah bermain di gunung dan pantai, cukup sudah rasanya mengunjungi kedua tempat itu. Di hari terakhir ini, rasanya ingin jalan-jalan namun yang agak sedikit santai, tidak terlalu mengeluarkan keringat dan juga tidak basah-basahan. Saat sedang mengetik kata kunci “jalan-jalan di Ambon”, muncul sebuah nama yang sangat asing namun membuat penasaran. Nama itu adalah Museum Siwalima.
“Membunuh waktu di museum kayaknya boleh juga nih.” Cetusku.
“Oh, ya sudah. Kita ke sana saja.” Timpal Helena.
Melihat gayung bersambut, saya pun segera membuka aplikasi taksi online untuk mengantar kami ke sana. Ya, di Ambon sudah ada taksi dan ojek online yang memberi kemudahan bagi para pelancong untuk berkeliling tanpa menyewa mobil secara harian.
Perjalanan Menuju Museum Siwalima
Tak butuh waktu lama, perjalanan dari belakang Rumah Sakit Umum Bhakti Rahayu, tempat saya menginap, menuju Museum Siwalima di kawasan Taman Makmur, desa Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, dengan menggunakan taksi online hanyalah 15 menit. Saya cukup terkejut dengan waktu tempuh itu. Terlalu nyaman dengan kemacetan ibu kota membuat jalan yang lancar menjadi suatu keanehan untuk saya.
Kami pun diantar tepat hingga di depan bangunan bertuliskan Koleksi Kelautan Museum Siwalima. Di gerbang masuknya tertulis Usu mae upu yang artinya silahkan masuk.
Ternyata oh ternyata, Museum Siwalima ini adalah satu komplek yang luas dimana terdiri dari beberapa museum yang bangunannya terpisah. Di dalam komplek ini ada ada Museum Kelautan, Museum Budaya, dan ada juga sebuah Hindu Center dimana di dalamnya terdapat pura untuk saudara-saudara yang beragama Hindu beribadah.
Yang membuat Museum ini lebih spesial dari museum-museum yang pernah saya kunjungi adalah lokasinya. Museum Siwalima tepat dibangun di atas bukit yang menghadap ke Teluk Ambon. Dari lokasi dimana museum ini dibangun, dapat terlihat secara jelas birunya laut Ambon yang memesona itu.
Melihat Kekayaan Koleksi Kelautan Museum Siwalima
Sekarang fokus ke Koleksi Kelautan Museum Siwalima dulu ya. Cerita mengenai kunjungan saya ke gedung lainnya di kawasan Museum Siwalima ini akan saya ceritakan pada postingan terpisah 🙂
Setelah membeli tiket dan sebelumnya memasuki Museum Budaya yang berisi budaya-budaya Maluku seperti pakaian, senjata, tari-tarian dan beberapa prosesi adat, tibalah waktunya saya memasuki bangunan Koleksi Kelautan Museum Siwalima.
Tepat di depan museum, sebuah monumen batu dengan ukiran penyelam yang dikelilingi 2 ekor ikan di atasnya langsung menyambut kami. Warnanya biru kehijauan dan ukurannya cukup besar. Dari monumen itu tergambar jelas kalau Maluku memang surganya bawah laut, surganya para penyelam, surganya para nelayan. Berbagai jenis ikan terdapat di provinsi yang juga kaya akan rempah-rempah ini.
Usai mengambil beberapa dokumentasi di bagian depan, kami pun langsung masuk ke bagian dalam museum. Salah seorang penjaga museum, seorang wanita, langsung menyambut kami dengan senyum manisnya. “Selamat datang di Museum Siwalima.” Sapanya penuh kehangatan. Setelah sapaan itu, ia pun menjadi pemandu kami selama berkeliling kawasan museum.
Museum Koleksi Kelautan ini memiliki luas bangunan yang cukup besar. Tata letak benda-benda yang berada di dalamnya juga cukup baik. Pertama kali masuk, kesan pertama saya adalah “WOW”. Di bagian pertama, kami langsung dihadapkan dengan foto-foto dari beberapa jenis ikan dan biota laut lainnya yang ada di Maluku, lengkap dengan penjelasannya. Bukan hanya foto, bahkan kami menjumpai adanya ikan hiu yang diawetkan dalam sebuah Aquarium. Hiu ini merupakan sumbangan dari LIPI untuk museum ini.
Di sebuah papan lainnya, terdapat daftar 528 jenis ikan yang ada di Maluku. Ke-528 jenis ikan yang ada di Maluku ini diberi nama oleh seorang ahli botani bernama George Eberhard Rumpf atau yang lebih dikenal dengan nama Rumphius. Rumphius ini merupakan pria asal Jerman yang memiliki kisah hidup yang sangat inspiratif.
Di tengah kebutaan yang dialaminya akibat Glukoma pada usia 43 tahun, ia tetap berupaya untuk mendokumentasikan semua jenis tumbuhan dan ikan yang ditemuinya di Maluku. Bukan pekerjaan yang mudah untuk mengenali,mencatat dan membukukan berbagai jenis tumbuhan dan ikan yang ada di Maluku dengan kondisi buta. Namun Rumphius berhasil melakukannya dengan perjuangan panjang. Bukunya yang terkenal, yang terbit setelah ia meninggal adalah Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan (1741) dan D’Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon (1705). Beberapa karya Rumphius lainnya dalam bentuk gambar bisa kalian nikmati di Benteng Amsterdam yang berada di Hila.
Lanjut lagi ke penjelajahan Museum Koleksi kelautan, terus berjalan kami menjumpai adanya gambar Ketam Kenari dan juga gambar warga sedang berburu Laor. Kalian tahu apa itu Ketam Kenari dan juga Laor? Ketam Kenari adalah jenis kepiting yang sangat besar (panjangnya bisa mencapai 30 cm) dan mampu memanjat pohon kelapa untuk menjatuhkan buahnya. Dengan capitnya yang besar, Ketam Kenari mampu mengoyak buah kelapa untuk dimakan dagingnya.
Sedangkan Laor merupakan cacing laut beraneka warna yang akan muncul di bebatuan pinggir pantai. Laor dalam jumlah banyak hanya muncul 1 tahun sekali di Maluku, umumnya pada bulan Maret-April. Jika musim Laor itu datang, warga akan beramai-ramai berkumpul di pantai untuk menangkapnya lalu kemudian dimasak untuk dikonsumsi.
Di museum ini juga terdapat beberapa replika perahu yang ada di Maluku. Perahu-perahu tersebut dibuat dengan ukuran yang lebih kecil agar pengunjung bisa mengetahui seperti apa sih ragam perahu yang ada di Maluku. Untuk mengetahui jenis-jenis perahu yang ada di Maluku, kalian bisa membacanya DI SINI. Selain diberikan gambaran seperti apa bentuk perahunya, di museum ini dijelaskan juga kayu apa saja yang umumnya digunakan untuk membuat perahu di Maluku.
Diberkati dengan kekayaan laut yang luar biasa rupanya membuat warga Maluku memiliki cara yang berbeda-beda untuk menangkap ikan. Ragam cara orang Maluku untuk menangkap ikan itu dijelaskan juga dengan sangat bagus di museum ini, baik itu dengan beberapa alat dalam bentuk aslinya, replika mini dari alat penangkap ikannya atau gambar yang berisi ilustrasi bagaimana alat penangkap ikan tersebut bekerja. Info lengkap mengenai ragam cara orang Maluku menangkap ikan bisa kalian baca lengkap DI SINI.
Bagian Paling Menarik
Dari beberapa benda yang ada di museum ini, ada 2 jenis benda yang paling menarik perhatian saya. Bukan hanya karena bentuk dari benda itu, tetapi juga nilai historis dari benda yang dipajang tersebut. Kedua benda yang saya maksud adalah rangka paus dan juga buaya yang diawetkan.
Mari saya mulai dari rangka paus terlebih dahulu. Kenapa tadi saya bilang Museum ini cukup luas? Salah satu alasannya karena terdapat 3 kerangka paus yang sangat besar tersimpan di dalamnya. Ketiga rangka paus tersebut diletakkan tepat di tengah-tengah museum, 2 jenis Paus Biru dan 1 Paus Bergigi. Seolah ketiganya memang diatur agar menjadi sentral dari museum ini.
Rangka paus yang terbesar dan yang paling tua adalah rangka Paus Biru yang berada di tengah. Panjangnya mencapai 23,5 meter. Paus ini menemui ajalnya pada tahun 1987 ketika ia terdampar di Pulau Buru dan tidak ada warga yang mampu menolongnya kembali ke lautan.
Berlanjut ke sebelah kanannya, masih merupakan Paus Biru juga. Paus sepanjang 18 meter ini terdampar di Suli Natsepa pada tahun 2003. Yang paling terakhir dan yang paling kecil adalah Paus Bergigi. Ia harus terhempas di Pantai Namalatu, Latuhalat pada tahun 1991.
Sama seperti hiu yang berada di aquarium, rangka paus ini juga persembahan dari LIPI untuk Museum Siwalima agar warga yang berkunjung bisa tahu dan belajar seperti apa sih bentuk kerangka Paus dibalik daging tubuhnya yang besar itu.
Berbeda dengan paus yang hanya rangkanya saja, Buaya Muara yang disimpan di museum ini badannya utuh seutuh-utuhnya. Ada alasan apa sih sampai buaya yang jasadnya diawetkan ini disimpan di dalam museum ini? Begini ceritanya, Buaya Muara dengan nama latin Crocodylus porosus ini dipanggil dengan nama Buaya Tete. Ia ditembak mati pada tanggal 17 Juli 1987 oleh kesatuan POLRI sektor Buru Utara Timur yang bekerja sama dengan TNI-AD kompi 731 Kabaresi Jikumerasa.
Tahu kenapa Buaya Tete ini ditembak mati? Sebab semasa hidupnya, pada Maret – Juli 1987, Buaya Tete ini sudah memangsa 15 orang penduduk Pulau Buru, dengan detil 10 orang meninggal dan 5 orang cacat seumur hidup. Hal itulah yang memicu tindakan tegas dari TNI dan POLRI.
Sebagai peringatan akan keganasan Buaya Tete ini, tubuhnya tidak dikuburkan melainkan diawetkan. Pada tahun 1991 atau 4 tahun setelah kematiannya, Pihak Korem 174 menyerahkannya kepada museum untuk dipamerkan kepada masyarakat.
*****
Dengan berakhirnya cerita dari pemandu kami mengenai Buaya Tete yang ada di Koleksi Kelautan Museum Siwalima ini, berakhir juga kunjungan kami ke museum tertua di Maluku ini. Sebagai informasi, Museum Siwalima ini dibangun pada 8 November 1973. Kalau dikonversi menjadi tahun, berarti 2018 ini usianya sudah 45 tahun, sebuah usia yang sudah sangat dewasa.
Sungguh senang bisa menutup perjalanan di Ambon dengan melakukan wisata edukasi di Museum Siwalima ini. Usai berpamitan dengan sang pemandu, kami pun langsung kembali ke daerah kota Ambon untuk selanjutnya bergegas ke bandara untuk terbang ke Jakarta.
Buat kalian yang mencari wisata alternatif di Ambon selain pantai dan gunung, Museum Siwalima adalah jawabannya 🙂
Info Tambahan
- Museum ini buka setiap hari Senin – Jumat dari pukul 08:00 – 16:00 WIT (Sabtu-Minggu tutup).
- Tiket Bisa dibeli di Museum Budaya yang lokasinya berada di paling atas, lebih di atas dari Museum Koleksi Kelautan. Harga tiketnya adalah sebagai berikut:
Keterangan Harga Pelajar Rp 3.000/orang Mahasiswa Rp 4.000/orang Dewasa / Umum Rp 5.000/orang Wisatawan Asing Rp 10.000/orang - Jika masuk dengan kendaraan umum, mintalah diantar hingga ke Museum Budaya yang letaknya agak ke atas sebab tiket hanya bisa dibeli di sana dan tidak bisa masuk ke bangunan museum lainnya tanpa tiket. Jadi jangan turun di Kolesi Kelautan Museum Siwalima.
- Apabila ingin menggunakan kamera untuk mendokumentasikan isi dari museum, dikenakan biaya tambahan sebagai berikut:
Jenis Harga Handphone Rp 2.000 Tablet Rp 10.000 Camera Professional Rp 15.000 Handy Cam Rp 25.000 - Kalau kalian ingin menggunakan jasa pemandu, jangan lupa memberikan uang tip untuk jasa mereka.
- Siwalima berasal dar kata Siwa dan Lima. Siwa artinya sembilan, diambil dari kata Ulisiwa (9 kerajaan yang berada di Selatan Maluku). Sedangkan Lima , diambil dari kata Patalima (5 Kerajaan di wilayah Utara Maluku).
A museum is a spiritual place. People lower their voices when they get close to art.
–Mario Botta