Perjumpaan dengan Al Quran Tua di Kota Kenari
Al Quran Tua – Sore itu pantai di sepanjang Alor Besar menampakkan kecantikannya yang memesona. Birunya laut yang bersih begitu memikat, tak hanya mata tetapi juga hati kami. Dengan mudahnya laut di Alor membuat kami jatuh cinta padanya. Pulau-pulau cantik seperti Pura, Pantar dan Ternate yang berada di kejauhan semakin menyempurnakan kecantikan laut Alor kala itu.
Keindahan laut Alor semakin bertambah ketika sang penguasa langit akan meninggalkan tahtanya untuk digantikan oleh sang bulan. Warna lembayung yang muncul perlahan sebelum digantikan oleh kegelapan membuat lukisan alam di depan kami begitu menakjubkan. Tak lama berselang, ketika kami asyik menikmati karya Tuhan itu, suara adzan dari Masjid Babussalam pun berkumandang, memanggil semua umat Muslim di sekitar sana untuk melaksanakan ibadah.
Mendengar suara itu, saya, Chris, dan juga Monika segera mengantarkan Billy untuk menunaikan kewajibannya di salah satu masjid tertua yang ada di Alor itu. Meskipun kami bertiga bukan beragama Islam, kami tetap memberikan kebebasan padanya untuk beribadah. Di Alor ini, keberlangsungan hidup antara umat beragama memang begitu terjaga. Meskipun mayoritas beragama Kristen, namun agama lainnya, seperti Islam, tetap diberikan kebebasan untuk menjalankan kehidupan beragamanya. Perbedaan sudah terjadi sejak lama namun toleransi selalu dijunjung tinggi di sana.
Usai menjalankan kewajibannya, Billy keluar dari masjid dan dari sana kami langsung bersama-sama beranjak ke sebuah rumah yang ada tepat di sebelah masjid. Di depan rumah itu, terdapat sebuah papan putih dengan tulisan hitam yang berbunyi “Obyek Situs Al Quran Tua, Desa Alor Besar, Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor”. Inilah memang yang menjadi tujuan utama kami sejak tadi, hanya saja tadi kami “terdistraksi” oleh laut Alor yang terlalu sayang rasanya untuk dilewatkan.
Melihat Al Quran Tua
Seperti layaknya tamu yang ingin bertamu, kami pun mengetuk pintu rumah tersebut sebelum masuk. Tak lama berselang, seorang pria berbadan besar, berkulit hitam dengan pakaiannya yang putih keluar dan menyambut kami. Dengan segera kami memperkenalkan diri dan mengatakan tujuan kedatangan kami, yaitu untuk melihat Al Quran Tua yang tersimpan di rumah ini. Mengetahui tujuan kami tersebut, pria itu menyalami kami dan mempersilahkan kami duduk di ruang tamunya yang sederhana namun begitu nyaman, sedangkan ia berjalan ke arah sebuah kamar yang pintunya hanya menggunakan tirai.
Ketika kembali keluar dari ruangan itu, ditangannya kini sudah ada sebuah kotak kayu. Dari dalam kotak kayu itu ia mengeluarkan sebuah buku yang kalau dilihat dari bentuk dan warna kertasnya, itu sudah tua sekali. Ya, itulah Al Quran yang sudah melegenda itu. Dengan penuh kehati-hatian, pria itu meletakkan Al Quran itu di atas meja dan mempersilakan kami untuk menyentuh, membuka, bahkan membacanya. Itulah untuk pertama kalinya kami berempat melihat secara langsung Al Quran Tua yang berusia sudah lebih dari 500 tahun. (Usia yang saya sebutkan ini itu terhitung sejak Al Quran Tua itu dibawa ke Alor. Untuk usia aslinya sendiri tidak diketahui).
“Tidak semua orang bisa memegang Al Quran Tua ini. Biasanya saya hanya menunjukkan Al Quran ini dari balik kaca pelindungnya. Hal itu bertujuan untuk menjaga Al Quran Tua ini agar tidak rusak terkena tangan-tangan manusia yang terkadang membukanya dengan kasar. Maklum, usianya sudah sangat tua.” Ucapnya kepada kami. Beruntung sekali kami bisa memegangnya.
Terlihat sekali Al Quran Tua ini dibuat secara manual. Hal itu bisa saya rasakan dari ketebalan kertas yang tak jarang berbeda antara lembar yang satu dengan lembar yang lain. Pinggir-pinggir lembaran juga terlihat sudah ada yang terkelupas atau tergulung membuat saya dengan penuh hati-hati membolak-baliknya. Beberapa lubang kecil pun sudah terlihat di beberapa lembarnya.
Al Quran Tua ini terdiri atas 30 Juz atau 114 surat dan ditulis dengan menggunakan tinta berwarna hitam dan merah. Belum jelas tinta jenis apa yang digunakan dan juga kayu apa yang digunakan untuk menjadi media kertas Al Quran ini pun belum diketahui.
Sejarah Al Quran Tua
Sebelum bercerita mengenai sejarah Al Quran Tua ini, pria besar itu memperkenalkan dirinya sebagai Nurdin Gogo, keturunan ke 14 dari Iang Gogo. Dialah yang kini bertugas untuk menjaga dan merawat Al Quran Tua tersebut. Siapakah Iang Gogo itu? Iang Gogo merupakan kakek moyang dari Nurdin Gogo yang membawa Al Quran tersebut dari Ternate.
Jadi pada saat pemerintaan Sultan Baabulah di Ternate (1570-1583), Iang Gogo bersama keempat saudaranya, Ilyas Gogo, Djou Gogo, Boi Gogo, dan Kimales Gogo merantau ke Alor dengan menggunakan sebuah perahu layar yang bernama “Tuma’Ninah” yang artinya “Singgah sebentar”. Bersamaan dengan perantauan itu, Iang Gogo membawa serta Al Quran Tua yang dibuat dari kulit kayu itu.
Pertama kali menginjakkan kaki di Alor, mereka berlima tiba di Vetelei (Tanjung Bota, Desa Alila). Karena merasa haus, mereka mencari sumber air di sekitar pantai, tapi mereka tidak bisa menemukanya. Tak lama berselang, Iang Gogo menusukkan tongkat yang dibawanya ke pasir dan keluarlah air tawar dari lubang hasil tusukan tongkat tersebut. Air itu mereka gunakan untuk memuaskan rasa haus mereka di perjalanan. Hingga kini, mata air tersebut masih ada. Lokasinya terletak di Desa Alila, kecamatan Alor Barat Laut, dan diberi nama Mata Air Banda.
Dahaga terpuaskan, mereka pun melanjutkan perjalanan ke suatu tempat bernama Tang-tang (sekarang Desa Aimoli). Di sana, mereka bertemu dengan Raja Baololong 1 (Raja Bungabali). Mereka pun lantas bertukar cinderamata. Kelima bersaudara tersebut memberikan nekara (Moko) kepada raja dan raja memberikan mereka masing-masing pisau khitan.
Dari Tang-tang, mereka berlima berpisah. Namun sebelum berpisah, mereka berjanji untuk bertemu kembali di Pusing Rebong (Pusat Kerajaan Bungabali). Beberapa saat setelah mereka berpisah, sesuai dengan kesepakatan, mereka bertemu kembali di Pusing Rebong. Di sinilah terjadi sebuah kesepakatan dimana salah satu dari 5 Gogo bersaudara ini harus ada yang tinggal dan menyebarkan Islam di sini. Orang tersebut adalah Iang Gogo. Dengan berbekal Al Quran Tua, Pisau Khitan dan lindungan dari Allah SWT, ia menyebarkan Islam di sini. Iang Gogo lalu menikah dengan Putri Bangsawan Kerajaan Bungabali bernama Bui Haki, dan dari pernikahan itulah muncul keturunan-keturunan berikutnya hingga kini sampai pada Nurdin Gogo.
Lalu apa yang terjadi dengan keempat saudaranya? Mereka masing-masing berlayar kembali untuk menyebarkan Islam. Iyas Gogo menetap di Tuabang, Djou Gogo menetap di Baranusa, Boi Gogo menetap di Solor, dan Kimales Gogo menetap di Kui, Lerabaing.
Pengalaman Nurdin Gogo Menjaga Al Quran Tua
“Pak Nurdin, ada batasan waktu kah untuk datang dan melihat Al Quran Tua ini?” Tanya saya ingin tahu.
“Tidak ada” Jawabnya dengan lantang. “Al Quran ini memang saya yang menjaga tapi Alquran ini milik semua umat. Kapanpun, siapapun, agama apapun, semua boleh melihat Al Quran ini. Jam 12 malam pun kalau ada yang datang untuk melihat Al Quran Tua ini, pasti saya izinkan.” Tambahnya.
Pak Nurdin bercerita kalau pernah ada sepasang suami istri dari Cina yang datang ke Alor hanya untuk melihat Al Quran Tua ini. Sang suami menangis hebat karena akhirnya bisa melihat Al Quran ini secara langsung. Ia datang agak malam waktu itu. “Masa iya sih saya melarang orang untuk melihat Al Quran ini. Sudah jauh-jauh lho mereka datang dari Cina” jelasnya mengapa tidak ada batasan waktu untuk melihat Al Quran tua ini.
- Baca Juga: Masjid Wapauwe, Masjid Tertua di Maluku
Suatu waktu, pernah juga Pak Nurdin pernah mendapat rombongan tamu yang isinya suster-suster Katolik. Dengan senang hati Pak Nurdin mempersilakan mereka masuk dan memperlihatkan Al Quran itu. “Selama mereka tidak berniat jahat, saya pasti melayaninya. Kalau ada niatan jahat, saya percaya Allah akan menjaga saya dan Al Quran ini.” Jelas Pak Nurdin.
Kuasa Tuhan
Pada tahun 1982, terjadi kebakaran hebat yang melanda rumah tempat disimpannya Al Quran Tua ini. Semuanya hangus terbakar, kecuali Al Quran tua ini. “Ia tetap utuh. Tak ada sedikitpun bagiannya yang kurang.” Kata Pak Nurdin. Kalau bukan karena kuasa Tuhan, tak mungkin rasanya Al Quran itu bisa selamat dari kebakaran.
Sepanjang diskusi yang terjadi antara kami berempat, ditambah supir yang membawa kami, serta Pak Nurdin Gogo di ruang tamu rumahnya, Chris dan Nick terus terlihat gelisah. Nick terlihat keluar terlebih dahulu dan Chris terus tertunduk gelisah. Akhirnya, setelah berbincang selama kurang lebih 1 jam, kami berempat pamit undur diri dan mengucapkan terima kasih karena kami sudah diterima dengan sangat baik.
- Baca Juga: Warisan Laksamana Cheng Ho di Tanah Batam
Setelah keluar dan kami berjalan pulang, barulah Chris dan Nick bercerita kalau di rumah itu ada ratusan orang yang menjaga Al Quran Tua itu. Menurut penuturan mereka berdua, ruangan tadi penuh sesak. Padahal kalau dilihat dari jumlah orang, hanya ada kami berenam di ruangan tersebut. Itulah alasan mengapa mereka berdua merasa begitu gelisah. Saya, Billy dan Monik tidak merasakan apapun, mungkin memang hanya orang terpilih yang mampu melihat dan merasakan fenomena tersebut.
*****
Itu tadi sedikit cerita mengenai perjalanan saya dan teman-teman melihat Al Quran Tua yang kabarnya juga menjadi Al Quran kulit kayu tertua di Asia. Bukan di dalam museum, bukan di dalam istana, bukan pula di dalam rumah mewah, namun Al Quran itu tersimpan dalam rumah yang penuh akan kesederhanaan. Buat teman-teman yang ingin mengunjunginya, silahkan gunakan saja aplikasi penunjuk jalan secara online dan tuliskan “Rumah Al Quran Tua” sebagai kata kuncinya.
Sebagai penutup, saya punya sebuah pertanyaan, “Kenapa Al Quran Tua ini Tuhan letakkan di Alor, yang mana mayoritas penduduk di sana adalah umat Kristiani (70%). Kenapa bukan di Mekkah, Madinah, atau Aceh?”
Saya berpendapat kalau hal itu terjadi karena memang Tuhan yang mahakuasa mengizinkan perbedaan itu nyata dan ada. Bukan untuk diperdebatkan atau dipermasalahkan, tapi justru untuk lebih lebih mempersatukan dan merekatkan. Al Quran ini begitu terjaga baik di tanah Alor ini. Bukan hanya umat Islam yang menjaganya, umat lainnya pun juga begitu. Jadi malu dong kalau masih suka ribut-ribut karena agama.
Lihatlah Alor dan contohlah toleransi yang terbangun kuat di daerah ini 🙂
*Selain mendapat Julukan Negeri 1000 Moko, Alor juga mendapat julukan sebagai Kota Kenari
I’m just hoping that people understand that Islam is peace and not violence.
–Muhammad Ali