Menikmati Kearifan Lokal dan Keindahan Bawah Laut Alor
Setiap kali berkumpul dengan beberapa teman yang memiliki hobi menyelam, bawah laut Alor selalu masuk dalam pembicaraan. Kesan positif lah yang selalu muncul setiap kali membahas bawah laut Alor. Berangkat dari percakapan itulah, akhirnya saya memberanikan diri untuk membuktikannya secara langsung
Ketika itu kapal yang saya tumpangi bersama beberapa orang teman dari Pantai Ling’al berhenti di depan Pulau Pura, salah satu dari 20 pulau yang ada di Kabupaten Alor. Pulaunya begitu tenang, sama halnya dengan kondisi laut yang berada di sekitarnya, tak ada ombak yang menantang, apalagi hingga menyerang.
Alasan kapal kami berhenti sebab kami melihat ada beberapa pemuda lokal yang sedang asyik di atas perahu kecil milik mereka. Setelah kami perhatikan, ternyata mereka yang berada di atas perahu kecil itu sedang mengawasi teman-teman mereka yang sedang menyelam.
Melihat pemuda yang sedang serius mengawasi temannya dari atas perahu, kami pun mengalihkan pendangan kami ke laut. ke tempat mereka mengawasi teman-temannya. Kalian tahu apa yang kami dapat? Kami melihat lautan Alor yang begitu jernih. Saking jernihnya, beberapa karang yang bersembunyi di bawah laut Alor pada kedalaman sekitar 10 meter pun terlihat jelas dari atas. Saya pun bisa melihat dengan kentara beberapa pemuda yang sedang menyelam itu.
Tidak perlu waktu lama untuk terhipnotis keindahannya, karena yang harus dilakukan selanjutnya adalah mencicipinya dan membiarkan diri ini dipeluk oleh birunya dan dinginnya laut Alor. Saya bersama Billy, Chris dan juga Monika langsung mempersiapkan alat selam kami seperti long fins, mask, dan juga snorkel. Saat semuanya sudah terpasang di badan, kami pun menceburkan diri untuk segera bergabung dengan pemuda-pemuda lokal itu.
Kaki yang sudah terpasang long fin ini pun saya kayuh menuju ke tempat pemuda yang sedang menyelam, sambil sesekali mengalihkan pandangan pada karang-karang yang begitu segar dan rombongan ikan yang terlihat malu ketika saya dekati. Rupanya, para pemuda lokal ini sedang asyik melakukan spearfishing. Untuk yang belum tahu apa itu spearfishing, itu merupakan aktivitas memburu ikan dengan cara menyelam dan menembaknya dengan menggunakan speargun, semacam senjata seperti pistol yang dibuat khusus untuk melepaskan besi tajam ke arah ikan buruan.
- Baca juga: Itinerary Keliling Alor 7 Hari 7 Malam
Yang membuat saya kagum adalah alat yang mereka gunakan untuk menyelam itu tidak standar. Mask yang mereka gunakan adalah kaca mata renang, yang tidak menutupi lubang hidungnya sama sekali. Ada yang menyelam dengan menggunakan celana jeans. Mereka pun menyelam dengan tidak menggunakan fin alias telanjang kaki, dan speargun-nya pun sangat sederhana, bahkan karet untuk melepas besi tajam ke arah ikan pun terbuat dari karet ban dalam.
Merasa sayang hanya melihatnya dan tidak mendokumentasikannya, saya pun meminta mereka untuk kembali melakukan aktivitas tersebut agar saya bisa mengabadikannya dengan menggunakan kamera bawah laut saya. Seperti seolah sudah terbiasa dengan kehadiran wisatawan seperti kami, salah seorang pemuda dengan cepatnya meng-iya-kan permintaan saya.
Kamera pun saya siapkan dan ketika saya memberi tanda ‘okay’, pemuda itu pun menyelam dengan satu tarikan nafas. Oh iya, kegiatan menyelam yang saya lakukan dengan pemuda lokal di sini adalah freediving ya, bukan scuba diving. Jadi kami tidak menggunakan tabung berisi oksigen sebagai alat bantu nafas. Kami menyelam menuju kedalaman tertentu dengan cara menahan nafas.
https://www.instagram.com/p/BnAbSa2ATYB/
Karena memang sudah keahliannya dan memang arena bermainnya, pemuda itu pun turun menyelami bawah laut Alor dengan cepatnya. Saya yang menggunakan long fin pun dibuat kesulitan untuk mengejarnya. Setelah mencapai kedalaman kurang lebih 12 meter, pemuda itu lalu diam di depan karang-karang yang memiliki celah sempit.
Dengan penuh kehati-hatian, saya pun mengikuti di belakangnya. Sumpah, pemuda lokal ini menahan nafasnya lama sekali. Nafas saya pun hampir habis untuk bisa mengikutinya. Untungnya, ia tidak berdiam lebih lama lagi. Usai berdiam diri selama beberapa puluh detik sambil mengarahkan speargun-nya, akhirnya pelatuk senjata itu ia tarik dan peluru besinya pun terlepas lalu menusuk salah satu ikan berwarna merah.
“Dapat”, ucap saya dalam hati sembari bersyukur saya tidak perlu menahan nafas lebih lama lagi. Pemuda itu kemudian segera bergerak naik dan dengan perasaan senang ia mengangkat ikan buruannya ke permukaan untuk menunjukkannya pada teman-temannya yang berada di atas perahu.
Usai mendapat pengalaman seru dan footage yang cukup bagus, saya dan teman-teman pun berterima kasih dan pamit untuk mengeksplorasi keindahan bawah laut Alor lainnya. Beruntung sekali punya kesempatan untuk melihat aktivitas mereka.
Bubu dan Karang-karang Segar Bawah Laut Alor
Kami pun berenang menjauhi pemuda-pemuda lokal tersebut. Selanjutnya, kami fokus untuk menikmati kekayaan bawah laut Alor. Beberapa kali kami berhenti di sebuah spot karena memang kondisi karangnya itu bagus-bagus sekali. Ukuran karangnya besar-besar, bentuknya berbagai macam (mulai dari yang soft hingga had coral), dan yang cukup menarik hati adalah warna mereka yang beraneka macam.
Tidak hanya itu, ikan-ikan yang hadir pun dari berbagai ukuran, ada yang suka berenang sendiri ataupun dengan bergerombol. Pokoknya seru banget. Yang agak mengesalkan itu, tidak semua ikan berani untuk berinteraksi bersama kami. Yang paling berani itu ya si Nemo. Ketika saya mendekat dan mengarahkan kamera ke arahnya, dengan tidak ragu ia menari di depan kamera saya.
Secara bergantian kami menyelam dan lainnya mengawasi dari atas. Memang seperti itulah salah satu prosedur menyelam, jadi ketika terjadi apa-apa dengan yang sedang menyelam, teman lainnya bisa bergegas menolong si penyelam tersebut dan memberi pertolongan pertama. Visibility yang mencapai 25 meter di laut Alor kala itu membuat kami lebih mudah untuk mengawasi teman kami dari atas.
Saya jadi ingat peristiwa di Aceh saat menyelam dengan tim yang sama. Waktu itu, Billy sedang menyelam di depan sebuah dermaga. Ketika naik ke permukaan, badannya tiba-tiba saja berguncang dan tidak bisa ia kendalikan dan ia pun kembali tenggelam.
Billy menyelam dengan terlalu memaksakan dan saya rasa oksigennya ‘habis’ sebelum ia benar-benar sempurna sampai ke permukaan. Untung saja saya, Chris dan Monika dengan sigap menangkapnya, mengangkatnya ke atas, meletakkan kepalanya di atas pelampung yang kami bawa, dan melakukan tindakan pertolongan selanjutnya. Coba saja kami semua menyelam saat itu, mungkin tidak ada yang bisa menolong Billy karena tenaga kami sudah habis duluan untuk menyelam dan kembali ke permukaan.
- Baca Juga: Mama Sariat, Sang Profesor Pewarna Alami dan Pengrajin Tenun Ikat Alor
Kembali lagi ke bawah laut alor, saat sedang asyik menyelam dan menikmati keindahan karang-karangnya, mata kami terdistraksi oleh beberapa Bubu, perangkap ikan tradisional. Bubu ini bentuknya seperti sebuah tong, hanya saja terbuat dari anyaman bambu dengan sebuah pintu masuk bagi para ikan yang bentuknya seperti corong. Sekali ikan masuk, maka ia akan terperangkap dan tidak akan bisa keluar.
Cara menggunakannya pun cukup mudah. Bubu hanya perlu diletakkan di kedalaman tertentu dengan sebuah pemberat, lalu biarkan selama beberapa hari agar ikan-okan terperangkap di dalamnya. Setelah beberapa hari, barulah menyelam kembali untuk mengambil bubu dan lihat berapa banyak ikan yang berhasil di dapat. Cara ini merupakan cara yang cukup ramah untuk menangkap ikan, karena jumlah tangkapannya tidak terlalu masif.
Secara gilir ganti, kami menyelam menuju bubu-bubu tersebut yang kedalamannya berbeda-beda, ada yang di 3meter, 7 meter, 10 meter, 12 meter dan Chris bertugas mendokumentasikan kami dari kejauhan. Posisi diletakkannya bubu ini memang tidak perlu terlalu dalam, karena ukuran ikan yang ingin ditangkap bukanlah yang besar-besar seperti giant trevally.
Oh iya, saya lupa menjelaskan kalau laut-laut di Alor itu umumnya bertipe palung. Jadi dari pinggir pantainya itu kedalamannya masih relatif sama sejauh 50 meter ke depan, tapi setelah itu akan ada semacam jurang yang sangat dalam dan tempat dimana karang-karang hidup akan mengikuti topografi tersebut.
Puas menikmati karang-karang di tempat yang agak dalam, kami pun secara perlahan namun pasti mulai melipir ke area yang sedikit dangkal. Tenaga kami mulai habis dan kami memilih untuk menikmati keindahan bawah laut Alor di tempat yang membutuhkan effort menyelam yang tidak terlalu besar.
Di tempat yang agak dangkal ini pun karangnya rapat-rapat posisinya dan ikan-ikannya pun ramai, hanya saja ukurannya tidak seperti di tempat yang agak dalam dan gerombolannya pun tidak terlalu banyak. Melihat mereka hilir mudik itu memiliki kepuasaan tersendiri bagi saya. Semacam hiburan gratis yang tidak bisa dinikmati setiap saat. Jadi, selagi bisa, ya puas-puasin deh memandangi mereka.
Selama kurang lebih 1,5 jam menyelam, saya tidak melihat adanya sampah. Laut Alor ini jernih dan bersih sekali. Senang bisa menghabiskan waktu di tempat ini.
Terima kasih Alor untuk keindahan bawah lautnya dan kesempatan yang diberikan pada saya untuk bisa menyelaminya. Meskipun hanya menyelam hingga kedalaman kurang lebih 15 meter dan baru sampai di laut depan Pulau Pura saja, namun saya sudah cukup kagum dibuatnya. Saya membayangkan bila saya bisa menyelam sampai kedalaman 30-40 meter dan mencicipi spot-spot di pulau lainnya, mungkin akan banyak kejutan lainnya dari mahluk-mahluk di bawah sana.
Semoga spot di Pulau Pura ini menjadi gerbang bagi saya untuk bisa menikmati bawah laut Alor di pulau-pulau lainnya di Alor ini.
We are tied to the ocean. And when we go back to the sea, whether it is to sail or to watch – we are going back from whence we came.
–John F. Kennedy