Bayt Al-Quran Al-Akbar: Kisah Awal Pembuatan Al-Quran Raksasa (1)
Bayt Al-Quran Al-Akbar atau yang dalam Bahasa Indonesia artinya adalah Rumah bagi Al-Quran Besar, merupakan sebuah destinasi wisata (religi) baru yang menampilkan mushaf Al-Quran dalam tampilan yang berbeda dan berlokasi di Jl. Moh. Amin, Gandus, Kota Palembang, Sumatera Selatan. Di dalam rumah yang megah ini terpampang nyata dengan indahnya lembaran Al-Quran, yang menjadi pedoman hidup umat Islam, dengan ukuran yang luar biasa besar. Jadi akbar di sini bukan hanya merujuk pada pengaruhnya tapi juga ukurannya.
Namun yang belum banyak orang tahu, sebelum tampil dengan cukup indah seperti sekarang ini di Gandus, bahkan pengerjaan renovasi dan pembangunan beberapa gedung baru masih terus dilakukan guna mempercantik situs wisata yang satu ini, tersimpan kisah seru penuh perjuangan mengenai bagaimana akhirnya karya seni ini akhirnya bisa diluncurkan.
Titik Awal
Usai merampungkan pemasangan kaligrafi, pintu, dan beberapa ornamen Masjid Agung Palembang pada tahun 2002, Ustadz Syofwatillah Mohzaib, yang merupakan bapak penggagas Al-Quran Al-Akbar, bermimpi membuat lembaran-lembaran Al-Quran dari kayu dalam ukuran besar. Bukan hanya sekadar besar, namun dalam mimpinya itu ia membuat lembaran-lembaran Al-Quran terbesar di dunia.
Berangkat dari mimpi tersebut dan juga niat tulus untuk memuliakan Allah, pecinta seni kaligrafi dan ukiran khas Palembang ini langsung mengerjakan sendiri karya yang ia lihat dalam mimpinya tersebut. Tidak langsung 315 keping atau 30 Juz seperti yang sudah rampung sekarang, perjuangan dimulai dari 1 keping kaligrafi Al-Quran. Setelah jadi, 1 keping Surat Al-Fathihah itu lantas Ustadz Opat, panggilan akrab Ustadz Syofwatillah, perlihatkan pada beberapa kiai dan ustadz di Palembang. Momen ketika memperlihatkan karyanya ni sekaligus menjadi momen dimana Ustadz Opat meminta restu, serta dukungan moril dan materil untuk dilanjutkannya pembuatan karya ini.
Karena sudah tahu kalau kedepannya akan membutuhkan dana tidak sedikit guna mewujudkan karya ini, akhirnya Ustadz Opat menghubungi salah satu tokoh masyarakat Palembang yang saat itu kalau tidak salah sedang menjabat sebagai Direktur Semen Baturaja, Bapak Marzuki Alie, untuk menjadi panitia pencari dana. Melihat namanya yang besar, pastilah Pak Marzuki punya banyak relasi untuk membantu mewujudkan mimpi yang mulia ini.
Perkenalan
Tepat pada tanggal 15 Maret 2002, atas inisiatif Pak Marzuki Alie dan pengurus Masjid Agung Palembang, keping pertama dari Al-Quran raksasa ini dipajang dalam acara bazar peringatan tahun baru Islam. Ukuran keping Al-Quran yang dipajang tersebut adalah 177 cm x 140 cm dengan ketebalan 2,5 cm. Kenapa biaya pembuatan keping Al-Quran ini sangat mahal? Alasan pertama karena kayu yang digunakan adalah Kayu Tembesu atau biasa dikenal juga dengan nama Kayu Trembesi, kayu yang anti rayap, tidak mudah lapuk dan sudah teruji ketahanannya.
Alasan kedua adalah kepingan Al-Quran ini diukir di atas kayu trembesi tadi. Diperlukan banyak aktor untuk pembuatan keping Al-Quran ini mulai dari penulis, pengukir, tukang kayu, tukang pelitur, tim pemeriksa kebenaran tulisan dan lain-lain.
Dari acara tersebut rupanya Tuhan memberikan titik terang untuk pembuatan karya ini. Sumbangan pertama untuk proyek ini diberikan oleh tokoh nasional asal Sumsel, sekaligus suami dari Ibu Megawati (Mantan Presiden Indonesia) saat itu, Bapak Taufik Kemas. Proyek pun dapat dilanjutkan. Pembuatan keping-keping Al-Quran ini dilakukan oleh Ustadz Opat dan tim di rumahnya yang terletak di Jl. Pangeran Sido Ing Lautan Lr Budiman, No 1009, Kelurahan 35 Ilir, Tangga Buntung, Palembang.
Cara Pembuatan Al-Quran Al-Akbar
Tidak mudah untuk membuat karya ukir yang bagus ini. Selain karena tidak bisa dikerjakan sendiri, ada tahapan-tahapan yang harus dikerjakan secara urut. Pertama, ayat-ayat Al-Quran ditulis di atas kertas karton. Setelah itu barulah tulisan tersebut dijiplak di atas kertas minyak. Sebelum dijiplak, tulisan tersebut diperiksa dulu kebenarannya oleh para alim ulama, apakah semua goresannya sudah benar atau belum. Karena kalau salah goresan, arti dan cara bacanya bisa berubah.
Pengerjaan bisa dibilang masih dengan cara semi manual. Setelah kayu-kayu Trembesi dipotong sesuai ukurannya, kayu-kayu tersebut lalu ditempelkan. Kalau dilihat lebih detil, dalam 1 keping itu ada 5 sambungan kayu. Di atas sambungan kayu itulah kertas minyak yang sudah berisi ayat Al-Quran yang terkoreksi ditempelkan. Huruf-huruf yang muncul di atas kertas minyak itulah yang menjadi patokan untuk proses pemahatan.
- Baca Juga: Daftar Tempat Wisata di Palembang (Bagian 1)
Sesudah pahatan selesai, barulah karya ini dipercantik dengan pemberian warna. Kuning diberikan untuk warna tulisan, sedangkan merah maroon untuk warna latarnya.
Warna dan Ornamen
Mungkin ada yang bertanya, kenapa warna yang digunakan pada kepingan Al-Quran bukan warna putih dan hijau? Kedua warna terebut kan identik dengan Islam dan kalau saya tidak salah, kedua warna tersebut adalah warna kesukaan nabi Muhammad?
Warna merah maroon dan kuning keemasan ini dipilih karena tidak ingin meninggalkan nilai seni dan budaya Palembang dari masa keemasannya (zaman Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darusallam). Warna Palembang itu kalau tidak kuning (Melayu), hijau (Arab), ya merah (Chinese).
Dan kalau dilihat lebih saksama, ornamen yang mengelilingi ayat suci Al-Quran ini berbentuk Bunga Teratai. Kenapa pula harus jenis tanaman ini yang dipilih? Karena Palembang asal mulanya berasal dari bahasa Melayu “Lembang” yang artinya tanah yang rendah.
Jadi dulunya Palembang itu tidak seperi sekarang. Dari pinggir Sungai Musi hingga ke Masjid Agung itu konon merupakan daerah dengan tanah timbunan. Jadi sebenarnya Sungai Musi itu dulunya lebih luas dari pada yang sekarang. Nah, di tanah yang rendah itulah banyak tumbuh Bunga Teratai, terutama di tepi Sungai Musi.
Dana yang Tak Kunjung Cair vs Upah Kerja yang Harus Dibayarkan
Kembali lagi pada bagian sumbangan dari Pak Taufik Kemas. Rupanya sumbangan Pak Taufik Kemas itu tidak bisa langsung cair. Barulah 7 bulan kemudian uang dari Pak Taufik Kemas itu bisa dipakai untuk mendanai proyek ini. Lantas selama 7 bulan awal itu, dimana Ustadz Opat dan tim sudah menyelesaikan mushaf Al-Quran hingga 1 juz atau 10 keping (20 halaman), dananya didapat dari mana? Jawabannya adalah dari kantong pribadi & berhutang. Karena niat awalnya memang untuk syiar dan memuliakan Allah, Ustadz Opat pun tak ragu untuk menggunakan dana pribadinya dan bahkan sampai berhutang untuk menjalankan proyek ini. Ia yakin dan percaya kalau Tuhan pasti menyertainya.
- Baca Juga: Itinerary Jelajah Palembang 3 Hari 2 Malam
Melihat kesulitan yang dialami oleh Ustadz Opat tersebut, Pak Marzuki Alie pun meminta Gubernur Sumatera Selatan saat itu, Bapak Rosihan Arshad, agar mengeluarkan SK (Surat Keputusan) panitia pembuatan Al-Quran Al-Akbar. Dari SK tersebut terpilihlah Ketua Umum dan Ketua Harian yaitu Bapak Bakti Setiawan dan Bapak Marzuki Alie. Dari pembentukan SK ini dan pencarian dana yang dilakukan oleh panitia, puji Tuhan mushaf Al-Quran Al-Akbar ini bisa selesai hingga 20 Juz.
Proses Penyelesaian dan Sang Penolong
Lho, bukannya Al-Quran itu ada 30 Juz? Kemana 10 Juz lagi? Seperti saya utarakan tadi, ada perjuangan berat dibalik pembuatan Al-Quran Al-Akbar ini. Ada peristiwa naik turun yang harus dialami oleh Ustadz Opat dan tim serta panitia pencari dana. Mungkin Tuhan ingin melihat sebarapa kuat manusia-manusia ciptaannya ini.
Ketiadaan dana membuat proyek ini harus berhenti sementara. Salah satu masalah besar yang dihadapi Ustadz Opat dan panitia terkait adalah harga Kayu Trembesi yang fluktuatif. Awal pembuatan, harga Kayu Trembesu berkisar antara Rp 1 -2 juta per kubiknya. Tapi ada masa dimana harga kayu ini mencapai Rp 7 juta per kubiknya, bahkan pernah menyentuh titik Rp 10 juta per kubiknya. Masalah inilah yang membuat pengeluaran membengkak dan tim ini kekurangan dana.
Melihat ketangguhan Ustadz Opat dan tim panitia, Tuhan kembali mencurahkan rahmatNya agar tim ini bisa melanjukan karya yang mengagungkan namaNya. Pertolongan dana kemudian datang dari Bapak Susilo bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu menjabat sebagai Menkopolkam. Saat kunjungannya ke Palembang, tim panitia mempromosikan karya ini kepada Pak SBY dan Alhamdulilah Pak SBY mau membantu, baik berupa dana dan juga ajakan kepada koleganya untuk membantu terselesaikannya proyek ini.
Puji Tuhan, akhirnya pada tahun 2008, setelah mengalami proses yang “berdarah-darah”, akhirnya mushaf Al-Quran A-Akbar dengan total 30 juz (615 halaman atau 315 lembar) ini bisa rampung. Total waktu yang diperlukan kurang lebih 6 tahun dan total biaya yang dihabiskan mencapai Rp 1,2 milyar, yang didapat bukan dari dana pemerintah, melainkan dari para donatur.
Peluncuran
Kurang lebih beberapa bulan berselang, lebih tepatnya pada hari Kamis, 14 Mei 2009, diluncurkanlah karya Al-Quran Al-Akbar ini di Masjid Agung Palembang oleh Kepala Departemen Agama Provinsi Sumatera Selatan, Bapak Najib Haitami. Acara ini dihadiri pula oleh hafizh dan hafizhah se-Sumatera Selatan. Melalui acara ini ingin diberitahukan bahwa karya yang diperjuangkan sejak tahun 2002 ini sudah rampung dan masyarakat bisa mengoreksi bila masih terdapat beberapa kesalahan.
Karya ini kemudian ditampilkan di Masjid Agung Palembang selama beberapa tahun dan masyarakat pun dapat masuk untuk menikmatinya.
*****
Itu tadi sedikit cerita mengenai perjuangan Ustadz Opat dan tim panitia untuk mewujudkan suatu karya yang (mungkin) hanya satu-satunya di dunia ini.
Usai membaca tulisan ini, mungkin ada yang bertanya, “Kok, dipajangnya di Masjid Agung Palembang? Bukannya Al-Quran Al-Akbar ini lokasinya ada di Gandus?”
Tenang, Ferguso. Tulisan ini masih akan berlanjut, tapi tidak di sini. Di postingan selanjutnya saya akan menceritakan keseruan pemindahan keping Al-Quran Al-Akbar ini dari Masjid Agung Palembang di Kota Palembang ke Gandus.
Tunggu ya 🙂
I see no difference between Islam and Islamism. Islam is defined as submission to the will of Allah, as it is described in the Koran. Islamism is just Islam in its most pure form.
–Ayaan Hirsi Ali