4 Bagian Menarik dari Bangunan Bersejarah Tamansari Yogyakarta
Langkah kaki menderap pelan melewati Gapura Panggung dengan 2 naga di gerbangnya: 1 di sisi kiri dan 1 di sisi kanan. Gapura Panggung di Tamansari Yogyakarta ini dulunya merupakan gerbang belakang. Gerbang depan yang sebenarnya adalah Gapura Agung di sisi barat dengan relief bunga dan burung pada dindingnya yang cantik memesona. Namun ketika dibuka menjadi tempat wisata sejarah, Gapura Panggung inilah yang difungsikan sebagai gerbang masuk bagi para pengunjung.
Nuansa sejarah segera menyelimuti kala langkah kaki tiba di area kolam pemandian. 2 kolam besar dengan pancuran airnya yang jernih menyala di bagian tengah masing-masing kolam langsung menyegarkan mata. Inilah area pemandian istri-istri dan anak-anak raja yang ikonik itu. Saya pun langsung membayangkan betapa enaknya menjadi raja atau sultan kala itu. Hidupnya dikelilingi wanita-wanita cantik.
“Orang-orang seringkali salah kaprah. Area pemandian ini bukanlah Water Castle, Mas.” Itulah kalimat pembuka yang diucapkan oleh pemandu yang selama 1 jam kedepan akan mendampingi saya untuk berkeliling Tamansari Yogyakarta dan mendongengi dengan kisah-kisah yang mungkin tak pernah saya dengar.
“Area pemandian ini merupakan bagian dari Water Castle. Tapi istananya bukan di sini. Adalah Pulo Kenanga, sebuah pulau buatan yang dibangun di tengah-tengah segaran (danau buatan) dengan bangunan 2 lantai yang dikelilingi tumbuhan Kenanga. Itulah tempat yang membuat hadirnya istilah water castle. Karena dari kejauhan, bangunan tersebut terlihat seperti mengambang di atas air. ” Lanjutnya.
Dari kolam pemandian inilah saya seperti dibawa terbang oleh mesin waktu yang dikendalikan sang pemandu. Dimensi ruang itu ditembus dan dibawanya saya ke puluhan dekade lalu, di mana Water Castle beserta benda-benda dan ruangan di sekitarnya masih berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan pelan dan piawai, ia mengajak saya mengenal setiap sudut bangunan, mendengar langsung cerita dari tembok-tembok yang seolah berbicara, dan meluruskan beberapa informasi salah yang sudah terlanjur beredar.
Pengalaman berkeliling Tamansari Yogyakarta selama 1 jam lebih 7 menit itu sangat menyenangkan. Saya dapat beberapa insight baru dan inilah hal-hal menarik bagi saya dari Tamansari Yogyakarta yang bisa saya bagikan:
Pasiraman Umbul Binangun
Namanya mungkin terdengar asing, tapi inilah nama area pemandian yang ikonik itu. Di dalamnya terdapat 3 kolam pemandian: Umbul Kawitan (tempat pemandian putri-putri raja), Umbul Pamuncar (tempat pemandian istri dan selir-selir raja), dan Umbul Panguras (tempat pemandian khusus sang raja). Namun saya tidak akan membahas kolam-kolam ini. Saya justru sangat tertarik dengan bangunan menara yang menjadi pemisah antara Umbul Pamuncar dan Umbul Panguras, bangunan yang dulunya hanya boleh dinaiki oleh sultan.
Jika ingin lebih detil lagi bagian mana dari bangunan tersebut yang membuat saya tertarik, adalah tangga untuk menaiki menara tersebut. Bentuknya sangat biasa, tapi penempatan dan filosofinyalah yang membuat saya tertarik.
Bila kalian berkesempatan mampir ke Tamansari dan main ke menara ini, cobalah naik dengan posisi menghadap ke depan. Kepala kalian pasti akan kejedot dengan salah satu bagian langit-langit dan untuk mencegahnya, kalian harus berjalan dengan agak menunduk. Cara yang paling tepat untuk menaikinya adalah dengan posisi menyamping. Dengan melangkah naik dalam posisi menyamping, kepala kalian tidak akan terbentur dengan langit-langit.
Lewat tangga ini, sultan seolah ingin mengajarkan kita agar melangkah dengan sabar, hati-hati, tidak terburu-buru, tapi pasti. Segala sesuatu ada aturan mainnya. Naik turun tangga mungkin terlihat mudah dan bukan perkara yang sulit, tapi seringkali orang menjadi abai karena hal yang mudah dan justru terjatuh atau terluka karena hal tersebut.
Perlu diingat bahwa dulu sultan menggunakan kemben atau sarung untuk menaiki tangga ini hingga mencapai bagian atas menara. Dengan menggunakan kemben atau sarung, sulit juga rasanya untuk naik dengan terburu-buru.
Pasarean Ledoksari
Bagian berikutnya yang menarik perhatian saya adalah Pasarean Ledoksari. Pasarean atau pesanggrahan (dalam Bahasa Indonesia) merupakan tempat peristirahatan raja. Bentuk bangunannya adalah letter U, dengan area kosong di bagian tengahnya. Jika dilihat dari luar gerbangnya, bangunan ini lebih seperti tempat silat pada film-film Tiongkok daripada tempat peristirahatan raja. Letaknya tepat di seberang selatan dari Umbul Panguras.
Selama saya berkunjung ke area Tamansari Yogyakarta, tempat ini merupakan tempat paling tidak favorit dari pengunjung. Sepi sekali. Bahkan ketika saya menghabiskan beberapa menit di sini, tidak ada sama sekali pengunjung yang hadir di sini. Padahal tempat ini menyimpan cerita mengenai ‘teknologi’ yang seru.
Salah satu teknologi canggih yang ada di Pasarean Ledoksari ini adalah tempat tidur raja. Setelah melakukan meditasi dan mengunjungi tempat menyimpan pusaka di gedung bagian timur, raja akan beristirahat di tempat tidur yang alasnya menggunakan anyaman bambu dan rotan. Bagian atasnya dilapisi lagi oleh pandan wangi. Uniknya, tempat tidur raja ini dibangun di atas aliran air.
Kenapa dibangun di atas aliran air dan menggunakan alas pandan wangi? Di sinilah letak ‘teknologi canggih’ pada masa itu. Selain memanfaatkan ventilasi yang ada pada bangunan, aliran air di bagian bawah tempat tidur raja ini berfungsi sebagai pendingin udara alami yang memberikan rasa sejuk dan damai saat raja berbaring di atasnya. Kehadiran pandan wangi konon sebagai media penyerap panas tubuh, jadi badan yang panas dan berkeringat akan menjadi adem setelah berbaring beberapa saat di atasnya. Bisa dikatakan kalau raja pada waktu itu sudah menggunakan ‘kasur herbal’.’
- Baca Juga: Romantisme Kalibiru, Yogyakarta
“Tahu tidak mas bahan yang digunakan untuk merekatkan tembok-tembok di sini? Bangunan-bangunan ini tidak menggunakan semen untuk merekatkannya lho.” Tanya sang pemandu disela ia menjelaskan mengenai bangunan ini.
Mencoba menebak, saya pun menjawab dengan nada yang tidak terlalu yakin, “Putih telur?”
“Bukan, Mas,” jawabnya, “bangunan ini direkatkan dengan menggunakan Bligon. Bligon sendiri merupakan campuran dari tanah liat, kapur, bata merah yang dihaluskan, pasir halus, injet atau gambir, leresan tebu, dan gula aren. Jadi tidak menggunakan putih telur. Kalau menggunakan putih telur, berapa ribu telur yang dibutuhkan dan berapa banyak ayam yang harus bertelur?”
Untuk mencapai bangunan ini, ada 2 gerbang yang bisa kalian lalui, yaitu dari arah Gedong Blawong di bagian selatan dan dari Gedong Madaran (dapur atau ruang memasak) di bagian barat. Saya sendiri kala itu melewati Gedong Madaran, setelah sebelumnya berjalan ke arah barat dari Pasiraman Umbul Binangun menuju Gapura Panggung. Usai tiba di pelataran berbentuk segi delapan, saya berbelok ke arah selatan (kiri) untuk menuju ke bangunan ini.
Sumur Gumuling
Yang berikutnya dan sekaligus menjadi primadona Tamansari Yogyakarta, apalagi kalau bukan Sumur Gumuling. Selain ke Pasiraman Umbul Binangun, banyak orang yang datang ke Tamansari hanya untuk mengunjungi tempat ini. Terletak di sebelah barat Pulo Kenanga, Sumur Gumuling seolah menjadi magnet terkuat yang menyedot wisatawan (Indonesia) untuk datang ke Tamansari.
Apa itu Sumur Gumuling? Sumur Gumuling merupakan sebuah masjid antik di Tamansari Yogyakarta yang hanya bisa dicapai lewat terowongan bawah air. Bagi yang pertama kali datang ke Sumur Gumuling pasti tidak akan menyangka kalau bangunan ini adalah masjid. Saya pun waktu itu begitu.
Sumur Gumuling merupakan masjid dengan desain paling spesial menurut saya. Bentuknya bulat melingkar dengan 2 lantai. Di bagian tengahnya, ada 5 tangga yang bertemu di tengah. Tempat inilah yang paling sering dijadikan area untuk berfoto untuk dipamerkan di sosial media. 5 tangga ini melambangkan rukun Islam dan alasan bentuknya yang melingkar adalah rukun Islam yang kelima, yaitu naik haji (bila mampu).
Karena jaman dulu warga yang beragama Islam belum bisa naik haji, maka bentuk melingkar dari masjid ini merupakan sarana untuk belajar tawaf. Selain 5 tangga yang bertemu di tengah tadi, di dalam masjid ini juga terdapat 4 jendela di bagian atas yang melambangkan 4 arah mata angin utama: utara, timur, barat, dan selatan. Bagian tengah atas dibiarkan terbuka dengan tujuan sebagai penanda waktu. Dengan melihat posisi matahari dari lubang tersebut, orang dulu bisa mengetahui waktu waktu (untuk sholat).
Lalu bagaimana tata cara sholat di masjid melingkar yang tidak terlalu besar ini? Imam akan berada di atas, sedangkan muadzin akan mengumandangkan adzan dari bawah. Salah satu alasan kenapa namanya Sumur Gumuling ya karena ini suara adzan ini. Gumuling itu artinya menggema, sedangkan diberi nama sumur karena bentuknya yang seperti sumur dan juga terdapat sebuah sumur untuk tempat mengambil wudhu, yang letaknya ada di bagian bawah tangga. Belum adanya microphone pada jaman dulu membuat bentuk yang melingkar dari mesjid ini juga berfungsi sebagai echo. Dinding-dindingnya saling bahu membahu menggemakan suara adzan.
Pembagian wilayah sholatnya sendiri ada dua. Bagian atas merupakan area bagi pria, sedangkan bagian bawah untuk wanita. Kalian tahu kenapa bukan wanita yang di atas? Sebab bila terjadi bencana atau musibah, wanita bisa diselamatkan terlebih dahulu melalui lorong yang langsung mengantar ke area depan Tamansari.
“Tapi kenapa masjid ini ukurannya kecil ya, Pak? Dengan lahan kosong yang luas (dulu), harusnya bisa dibangun lebih besar menurut saya.” Tanya saya kepada sang pemandu. Untuk informasi, diameter tembok luar Sumur Gumuling ±6 meter. Sedangkan lingkaran yang di bagian dalam diameternya ±4 meter,
“Dulu itu Islam belum terlalu besar, Mas. Mungkin isi masjid ini pun hanya 1/4 saja. Jangan bayangkan Islam di Yogyakarta yang sekarang. Dulu itu masjidnya kecil dan penganutnya belum terlalu banyak, tapi orang-orangnya semangat untuk beribadah. Kalau sekarang, umatnya banyak dan masjidnya banyak, tapi masjidnya sering kosong. Banyak orang yang dipanggil adzan tidak datang, tapi kalau dipanggil pacar atau atasan cepat datang. Kayaknya orang-orang sekarang lebih takut diputus kerja atau diputus cinta, dibandingkan diputus nafas sama Tuhan.” Jawabnya yang mengandung sindiran cukup dalam.
Gapura
Bagian paling mengejutkan bagi saya hadir ketika saya mengunjungi Pulo Kenanga, alias si istana airnya. Ketika sedang berjalan ke salah satu gapura di sana, tiba-tiba sang pemandu bertanya pada saya, “Mas, tahu tidak gapura itu selesai dibuat tahun berapa? (sambil menunjuk ke arah gapura)”
Sebagai orang yang baru pertama kali ke sini dan kurang membaca mengenai sejarah Tamansari Yogyakarta ini, tentunya saya tidak tahu. Saya pun menjawab pertanyaan tersebut dengan gelengan kepala.
“Coba lihat ukiran yang ada di gapura tersebut,” ucapnya, “Ukiran tersebut bukanlah sembarang ukiran, melainkan simbol tahun kalender jawa. Pada ukiran tersebut terdapat bentuk burung yang sedang menghisap sari bunga, atau dalam Bahasa Jawa disebut Lajering Sekar Sinesep Peksi.Lajering itu batang, yang melambangkan angka 1. Sekar itu bunga, yang menunjukkan angka 6. Sinesep itu artinya menghisap, angka 1. Sedangkan Peksi itu artinya burung, yang meyimbolkan angka 9. Jadi gapura ini selesai dibangun tahun 1691 kalender jawa atau 1765 kalender masehi.”
Mulut saya pun sempat menganga beberapa saat sebagai bentuk kekaguman atas penjelasan pemandu saya itu. Saya sama sekali tidak menyangka kalau dari ukiran indah seperti itu ternyata bisa diterjemahkan menjadi tahun. Sungguh di luar dugaan. Dan ukiran-ukiran ini pun bisa kalian lihat di gapura lainnya dan beberapa dinding bangunan inti.
******
Itu tadi beberapa bagian menarik dari bangunan yang ada di Tamansari Yogyakarta. Dari beberapa hal tersebut, terlihat jelas kalau bangunan ini memang direncanakan dengan cukup matang. Soal ketahanan bangunan, tak perlu diragukan. Sampai sekarang pun Tamansari Yogyakarta masih tegap berdiri (meski sudah terjadi beberapa pemugaran di beberapa sisinya). Selain memiliki nilai seni yang tinggi, beberapa bagian pada bangunan di sini pun menunjukkan kecerdasan orang-orang jaman dahulu.
Tambahan
- Tiket masuk wisatawan lokal RP 5.000/orang dan biaya foto adalah Rp 3.000/orang.
- Bila membutuhkan pemandu untuk berkeliling Tamansari, silakan hubungi Pak Yadi (0823-2457-5040). Tarifnya itu seikhlasnya (tapi mohon tahu diri ya kalian yang mau memakai jasanya).
There was a castle called Doubting Castle, the owner whereof was Giant Despair.
–John Bunyan