Itinerary Jelajah Lampung Tipis-tipis 7 Hari 6 Malam
Jelajah Lampung tipis-tipis selama 7 hari 6 malam ini sebenarnya merupakan lanjutan perjalanan dari Jelajah Palembang yang saya lakukan selama 3 hari 2 malam (Itinerary Palembang bisa kalian baca DI SINI dan rincian biayanya bisa kalian lihat DI SINI). Bersama teman seperjalanan saya, Billy, total lama perjalanan yang kami lakukan di daratan Sumatera bagian selatan ini adalah 10 hari 9 malam. Selama itu pulalah kami menikmati keindahan alam, budaya dan kuliner yang tak bisa saya lupakan. Dan berikut ini merupakan detil kegiatan saya selama berada di Provinsi Lampung:
Hari Pertama
Waktu (WIB) | Keterangan |
---|---|
06:00 | Tiba di Stasiun Tanjung Karang, Lampung |
06:15 - 07:00 | Dijemput Bang Indra dan sarapan di warung yang tidak jauh dari stasiun |
07:00 - 07:15 | Perjalanan ke Pulau Pasaran |
07:15 - 08:35 | Jelajah Pulau Pasaran |
08:35 - 09:00 | Perjalanan ke Hotel DeGreen (Early Check In) |
09:00 - 11:00 | Mandi dan santai-santai |
11:00 - 15:00 | Makan siang dan nonton di Kartini Mall |
15:00 - 16:00 | Perjaanan ke Sate Cak Umar |
16:00 - 18:00 | Perjalanan ke Gelato House dan menikmati Es Krim |
18:00 - 19:00 | Kembali ke DeGreen Hotel dan mandi |
19:00 - 23:00 | Perjalanan ke Cikwo Restoran |
23:00 - 23:30 | Perjalanan kembali ke DeGreen Hotel dan istirahat |
Titik awal perjalanan di lampung dimulai dari Stasiun Tanjung Karang. Ya, saya memilih untuk ke Lampung dengan menggunakan menggunakan kereta dari Palembang. Lama perjalanan Palembang-Lampung dengan kereta kurang lebih satu malam. Inilah salah satu alasan kenapa saya memilih menggunakan kereta, selain murah dan nyaman, saya tidak perlu mengeluarkan biaya hotel untuk bermalam. Tak tahu kenapa, kereta memang selalu punya tempat di hati saya.
Tiba di stasiun pagi hari, saya langsung dijemput oleh Bang Indra, penguasa Bandar Lampung sekaligus pemilik blok kece INI. Dari dia inilah saya baru tahu kalau usia Bandar Lampung, ibu kota provinsi Lampung, jauh lebih tua dari provinsinya sendiri. Saya dan Billy lantas diajak ke salah satu restoran yang letaknya tidak jauh dari stasiun. Di restoran ini, kami berdua ditraktir oleh Bang Indra. Duh, rejeki banget ya, sudah dijemput eh ditraktir juga. Terima kasih ya bang.
Saat perut sudah kenyang dan sebelum ia kembali bekerja, Bang Indra mengajak kami menuju Pulau Pasaran. Dari restoran, Bang Indra mengendarai mobilnya dengan gesit melewati jalan-jalan di perkotaan menuju ke Teluk Betung. Dari Teluk Betung, mobil masih perlu melaju selama 5 menit untuk tiba di beberapa rumah warga yang ada di pinggir pantai. DI sanalah mobil kami parkirkan dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Dulunya, untuk bisa menuju ke Pulau Pasaran ini, warga atau pengunjung harus menggunakan perahu. Namun sejak dibangunnya jembatan penghubung dari bibir pantai menuju Pulau Pasaran, warga dan pengunjung menjadi terbantu sebab ada 2 opsi untuk ke sana, dengan sepeda motor/berjalan kaki atau dengan menggunakan perahu (mobil tidak bisa melalui jembatan itu).
Setelah berjalan selama 10 menit dan melewati jembatan, kami pun tiba di pulau yang menjadi sentra ikan asin ini. Beberapa perahu kecil sudah terlihat berangkat menuju bagan-bagan yang ada tidak jauh dari Pulau Pasaran, meskipun beberapa masih terlihat bersandar di pinggir pulau. Dari kejauhan, kami bertiga melihat beberapa warga yang sedang menebarkan ikan di atas kayu berjala yang tersusun memanjang. Ke sanalah kaki kami melangkah.
Rupanya para warga itu sedang menjemur beberapa ikan yang kelak menjadi ikan asin yang kita konsumsi. Dengan cara estafet, para warga membagikan ikan dari ujung hingga ke ujung dan meratakannya di atas jala. Cuaca pagi itu pun begitu mendukung, kumpulan awan membiarkan cahaya matahari turun dan langsung menyentuh ikan-ikan tersebut. Konon katanya, omset penjualan ikan asin di Pulau Pasaran ini bisa sampai ratusan juta per bulannya lho.
Selama beberapa waktu, saya mengabadikan kegiatan yang mereka lakukan dan mereka pun membiarkan kami memotret aktivitas yang memang jarang kami lihat ini. Setelah puas, kami pun pamit undur diri dan melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya yaitu Hotel De Green. Di tempat inilah kami menginap di hari pertama kami tiba di Lampung.
Karena harus kembali bekerja, Bang Indra pun hanya mengantar kami sampai di sini. Kami berjanji bertemu kembali malam nanti. Jadilah saya dan Billy bersantai sejenak di hotel. Perjalanan ini terbilang santai karena memang kami berdua bukanlah tipe pejalan yang grasak grusuk harus mengunjungi banyak tempat setiap harinya. Usai check in, beristirahat dan merapikan diri, kami pun pergi ke Kartini Mall untuk makan siang yang dilanjutkan dengan nonton Aquaman yang saat itu baru beberapa hari tayang. Sebagai Moviegoers, kami tak mau kehilangan kesempatan untuk melihat Jason Momoa berakting pada film besutan DC.
Menonton sekian jam membuat perut kami lapar. Dari Kartini Mall, kami beranjak menuju Sate Cak Umar dengan menggunakan ojol untuk menuntaskan keinginan perut kami yang sudah mulai mengamuk. Yang membuat sate Cak Umar begitu spesial adalah tersedianya Sate Kambing Super dan Sate Ayam Spesial. Kedua varian sate tersebut menyajikan daging-daging tanpa lemak di setiap tusuknya. Sedikit lebih mahal memang, tapi harga selalu menunjukkan kualitas, bukan?
Karena tidak menemukan hidangan penutup yang pas di Cak Umar, saya dan Billy memilih untuk mencarinya di Gelato House. Lagi-lagi kami berangkat dengan menggunakan ojol. Kehadiran ojol memang mempermudah traveling jaman now. Hanya dalam hitungan kurang dari 10 menit, kami pun tiba di surganya es krim Bandar Lampung. Letaknya masih satu kawasan dengan Raja Kuring.
Saya dibuat pusing oleh banyaknya varian rasa es krim di sana. Semua enak dan semua saya mau coba. Namun karena keterbatasan uang dan muatan perut, akhirnya pilihan saya jatuhkan pada coklat, hazelnut dan rum raisin. Ya, 3 scoop rasanya sudah cukup untuk menutup rangkaian kuliner kami sore itu. Mengingat malam nanti kami harus berjumpa dengan Bang Indra, sore itu kami tak menghabiskan banyak waktu di Gelato House dan segera kembali ke De Green Hotel untuk isitrahat dan merapikan diri.
Malam harinya, Bang Indra menepati janjinya untuk mengajak saya makan malam. Kami dibawa ke Cikwo Restoran dan di sana kami berjumpa dengan Bang Yopie, sesepuh Genpi Lampung, beserta dengan istrinya. Kami berbincang banyak hal mulai dari politik, perkembangan dunia blogging, isu-isu yang sedang hangat, hal-hal lucu di masa lampau dan banyak topik lainnya.
sambil ngobrol itu, kami juga ditemani dengan makanan khas Lampung yang disebut Seruit. Sebenarnya seruit ini bukanlah makanan melainkan cara makan. Untuk menikmati makan seruit ini, biasanya di atas meja akan tersedia ikan bakar/goreng, sambal terasi, tempoyak (olahan durian) dan juga mangga. Potongan ikan yang ingin dimakan akan dicampur ke dalam sambal terasi dan tempoyak, barulah setelah itu dilahap. Tanpa terasa, ternyata perbincangan warung kopi itu berlangsung cukup lama, hingga restorannya mau tutup.
Buat saya, traveling bukan hanya mengunjungi tempat wisata, tapi juga membangun relasi dengan orang yang baru. Cikwo Restoran menjadi tempat terakhir yang kami kunjungi sebelum saya dan Billy kembali diantar ke De Green Hotel untuk beristirahat.
Catatan:
- Menurut saya, kalau memang hanya ingin berjalan di sekitaar Bandar Lampung, lebih baik menggunakan ojol ketimbang sewa mobil. Jauh lebih cepat dan murah.
- Gelato House ini tempatnya agak jauh dari keramaian. Saya cukup senang berada di sini karena ketenangan yang ditawarkan.
Hari Kedua
Waktu (WIB) | Keterangan |
---|---|
06:00 - 09:30 | Olahraga, Sarapan, Mandi, Check Out |
09:30 - 13:00 | Perjalanan ke Teluk Kiluan |
13:00 - 14:00 | Taruh barang di Penginapan dan istirahat |
14:00 - 16:00 | Makan siang dan lanjut Istirahat |
16:00 - 18:00 | Perjalanan ke Laguna Gayau dan bermain air di sana |
18:00 - 19:00 | Kembali ke penginapan dan mandi |
19:00 - 24:00 | Makan malam dan Acara bebas |
24:00 | Istirahat |
Usai mandi dan melakukan sarapan, saya dan Billy pun segera melakukan check out. Kami hanya menginap untuk 1 malam di De Green Hotel. Tujuan saya dan Billy hari ini adalah sebuah Kabupaten yang agak jauh dari Kota bandar Lampung, Tanggamus namanya. Saya pun tidak tahu itu berada dimana, namun yang saya yakin bahwa perjalanan pasti seru dan menyenangkan.
Tepat di lobi hotel, Bang Indra sudah duduk dengan santainya sambil asyik bermain smartphone. Hari ini dia bisa mengantar kami dengan tenang karena sudah “izin” kepada kantornya untuk mengantar wisatawan dalam negeri (maksudnya saya) untuk lebih mengenal Lampung. Oh ya, Bang Indra ini bekerja di dinas pariwisata Lampung lho, rasanya tidak aneh kalau alasannya itu bisa diterima atasannya.
Secara mengejutkan, ternyata Bang Indra membawa serta Muli Mekhanai Bandar Lampung 2018 untuk menemani saya dan Billy. Perjalanan pun menjadi cukup ramai. Sebelumnya, utnuk yang belum tahu Muli Mekhanai, bisa dibilang ini adalah abang none duta wisatanya Bandar Lampung. Kira-kira begitulah penjelasan singkatnya. Usai semua berkumpul dan mobil dipanaskan, kami pun segera tancap gas ke Tanggamus, lebih tepatnya Teluk Kiluan.
Perjalanan menuju Teluk Kiluan kurang lebih memakan waktu 3 jam. Jalur yang dilalui pun tidak bisa dibilang mudah. 1/4 jalan, kami masih bisa tertawa sebab jalan masih cukup bagus, aspalnya masih cukup rapi. Namun memasuki 3/4 jalan selanjutnya, jalan mulai bergelombang dan tak jarang berlubang. Keadaan makin diperparah dengan signal telepon genggam yang timbul tenggelam.
Buat kalian yang pernah ke Pahawang via Pelabuhan Ketapang, kalian pasti tidak asing dengan jalur ini sebab jalur yang dilalui sama, hanya saja untuk menuju Teluk Kiluan ini jaraknya lebih jauh. Sepanjang perjalanan, pantai-pantai cantik di sebelah kiri jalan yang sesekali terlihat akan menjadi teman perjalanan yang setia. Waktu itu, kami juga mendapat tambahan teman lagi, yaitu hujan yang turun deras sesaat kami tiba di gerbang bertuliskan “Selamat Datang di Teluk Kiluan”.
Kalau sesuai dengan rencana, harusnya setibanya kami di penginapan milik Cece Stella di Kiluan, kami langsung bergegas menuju Pantai Gigi Hiu. Tapi karena hujan, siang itu kami tidak bisa kemana-mana. Kami hanya bisa menunggu di dalam penginapan sambil memandangi keindahan Teluk Kiluan yang tertutup oleh derasnya hujan dan awan yang gelap. Untung saja ada makan siang yang bisa sedikit mengobati rasa kesal kami.
Rupanya Tuhan memang tak ingin agar liburan ke Teluk Kiluan ini berakhir dengan hanya tidur-tiduran saja di penginapan. Menjelang sore, Ia meredakan hujan yang membuat kami bisa berjalan-jalan. Waktu yang tidak lama lagi sebelum berganti malam, membuat kami hanya bisa mampir ke Laguna Gayau.
Letak Laguna Gayau adalah dibelakang sebuah bukit, tidak jauh dari pemukiman warga. Untuk menuju ke sana, rombongan kami pun hanya perlu berjalan kaki dari cottage milil Cece Stela, namun harus didampingi oleh pemuda lokal yang memang lebih mengerti medan. Jalurnya sebenarnya tidak susah dan cukup jelas, tapi untuk alasan keamanan, kami harus didampingi.
Jalur yang seharusnya mudah menjadi sulit karena baru saja hujan. Jalan menanjak yang terbuat dari semen pun basah dan licin. Kami harus berhati-hati agar tidak tergelincir. Setelah berjalan sekitar 15 menit, akhirnya kami pun tiba di lokasi. Deburan ombak yang kencang menyambut kami dengan sangat antusias. “Ombaknya lagi kencang ini mas. Hati-hati dan ikuti instruksi saya ya kalau mau berenang di laguna.” Ujar pemandu yang mendampingi kami.
TIdak pakai lama, kami pun segera menceburkan diri ke dalam laguna yang letaknya persis di pinggir laut. Untuk yang belum tahu apa itu laguna, laguna merupakan sekumpulan air asin yang terpisah dari laut karena adanya sebuah penghalang seperti daratan atau batu. Bisa dibilang Laguna itu adalah kolam alami.
https://www.instagram.com/p/Brv4KP6HImi/
Kami asyik bermain air sambil terus memperhatikan sang pemandu yang juga sedang mengawasi arus di laut. Sesekali Firly dan Aziz, pemuda dari Muli Mekhanai, melakukan atraksi dengan melompat ke dalam kolam dari batu karang yang agak tinggi. Setelah dirasa puas dan malam pun hampir tiba, kami mengakhiri kesenangan kami di sana dan kembali ke penginapan. Itulah satu-satunya spot wisata yang menjadi kunjungan kami hari itu.
Malam harinya, ditemani oleh masakan Cece Stella yang luar biasa enak, kami bersenda gurau di pinggir laut. Kami bercerita hal-hal yang kami anggap menarik untuk dibahas. Beberapa pemuda lokal yang duduknya tidak jauh dari kami pun terlihat asyik bermain gitar sambil menyanyi. Malam yang biasanya sepi menjadi ramai oleh suara tawa kami dan alunan lagu yang merdu.
Tak terasa, ternyata waktu sudah menunjukkan tengah malam. Kami pun menyudahi perbincangan malam itu dan harus segera beristirahat. Perjalanan seru sudah menanti kami esok hari.
Catatan:
- Jika mau melakukan perjalanan ke Teluk Kiluan, disarankan menggunakan sandal atau sepatu gunung. (Wanita jangan pakai heels ya).
- Signal Internet yang kuat di Kiluan hanyalah Telk*msel. Operator lainnya tidak bisa diharap.
- Kalau tidak hujan, harusnya ada 2 spot yang bisa dikunjungi yaitu Pantai Gigi Hiu dan Laguna Gayau.
- 3/4 jalan sebelum tiba di Kiluan tidak ada penjual makanan dan minuman. Oleh sebab itu, penuhilah semua kebutuhanmu sebelum berangkat ke Kiluan.
isi bensin penuh
Hari Ketiga
Waktu (WIB) | Keterangan |
---|---|
06:00 - 08:00 | Bangun, Mandi, Sarapan |
08:00 - 09:00 | Perjalanan ke Gigi Hiu |
09:00 - 11:00 | Foto-foto di Gigi Hiu |
11:00 - 12:00 | Perjalanan kembali ke Kiluan |
12:00 - 14:00 | Makan siang dan persiapan kembali ke Bandar Lampung |
14:00 - 17:00 | Perjalanan kembali ke bandar Lampung |
17:00 - 17:15 | Perjalanan ke penginapan |
17:15 | Acara Bebas lalu istirahat |
Pagi itu cuaca tidak terlalu bersahabat. Hujan yang tak kunjung berhenti sedari subuh membuat rencana kami untuk bermain bersama lumba-lumba pun gagal. Alhasil, kami terbaring lebih lama di atas kasur sambil berharap cuaca segera bagus agar kami bisa berpetualang hari itu. Rencana pertama untuk bermain bersama lumba-lumba boleh gagal, tapi rencana kedua untuk ke Pantai Gigi Hiu janganlah sampai gagal juga.
Sambil menunggu, kami diminta untuk menyantap sarapan yang sudah disediakan Cece Stella. Tidak ada menunggu yang lebih nikmat rasanya bila dibandingkan dengan menunggu sambil menyantap makanan yang disediakan oleh si Cece. Dan rupanya, saat kami asyik makan, cuaca perlahan-lahan mulai membaik. Tuhan mendengar harapan anak-anaknya yang mau jalan-jalan ini. Hujan yang tadinya deras, lama-kelamaan volumenya mengecil hingga akhirnya berhenti. Melihat hal tersebut kami pun tersenyum dan segera setelah makan, kami menyiapkan semua peralatan untuk photoshoot di Pantai Gigi Hiu.
Sementara kami bersiap-siap, rombongan ojek motor sudah siap di depan. Ya, kami harus menuju Gigi Hiu dengan ojek motor dikarenakan mobil yang kami bawa tidak akan kuat melewati jalurnya. Dengar-dengar sih, jalur ke Gigi Hiu ini merupakan jalur terburuk dalam rangkaian perjalanan ke Kabupaten Tanggamus ini. Tak ingin larut dalam membayangkan jalannya akan seperti apa, kami pun membiarkan para tukang ojeg itu membawa kami.
1/4 jalan pertama, jalur masih aman untuk dilalui. Kondisi jalan masih dalam keadaan cukup rapi meskipun ada beberapa lubang di jalan dengan beton yang cukup tebal ini. 3/4 jalan sisanya, saya seperti naik roller coaster. Badan dan perasaan dibuat campur aduk. Jalanan kadang menanjak panjang, lalu dihantam turunan yang tak jarang dipadukan dengan jalur yang berkelok. Memang tanjakannya tidak curam, hanya saja cukup panjang. Kalau sudah menanjak, gas motor tidak boleh dilepas, sebab sekali dilepas maka motor tak akan kuat mendaki dan yang dibonceng harus turun.
Singkat cerita, dalam 1 jam kami berhasil melewati “medan perang” tersebut dan tiba di Pantai Gigi Hiu. Rasa lelah berjuang terbayar lunas tuntas kala mata ini melihat keindahan pantai ini. Tidak bisa buat main air memang, tapi pesonanya mampu membius hati ini. Deretan batu-batu karang tajam yang menyembul ke atas permukaan laut membuat tampilannya bak gigi tajam yang ada pada ikan hiu, saya rasa itulah yang menjadi alasan tempat ini diberi nama seperti itu.
Tak ingin lama terbuai, saya pun segera menerbangkan drone saya untuk menikmati pemandangan panti ini dari atas dan kalian tahu apa hasilnya? Cantik banget. Di lain pihak, rombongan Muli Mekhanai yang didampingi oleh Bang Indra segera berdandan untuk melakukan photoshoot di pantai yang cantik ini.
Puji Tuhan, cuaca sangat bagus selama kami berada di Pantai Gigi Hiu ini. Langitnya biru, awannya begitu putih, angin berhembus tidak begitu kencang, dan panas mataharinya tidak terlalu menyengat. Proses photoshoot pun berlangsung lancar, ya meskipun tidak begitu mudah untuk naik ke puncak-puncak batu karangnya, tapi di sanalah seninya.
Setelah puas mengabadikan momen di pantai yang cantik ini, kami pun bergegeas kembali ke Kiluan. Langsung lemas rasanya membayangkan rute kembali yang begitu berat. Tapi mau bagaimana lagi, rute itulah yang harus kami lewati. Semoga saja rute Kiluan – Gigi Hiu ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah Lampung ya. Karena kalau infrastruktur jalannya rapi dan nyaman, pengunjung pun akan dengan sukacita datang ke sini.
Sampai di Kiluan, Cece Stella sudah menyiapkan makanan buat kami. Ia sepertinya sudah tahu kalau perjalanan pulang pergi Gigi Hiu memakan energi yang cukup banyak dan waktu yang lama. Hanya dalam hitungan 15 menit setelah kami tiba, semua makanan berhasil kami sapu bersih. Makan di Kiluan ini begitu spesial, bukan hanya karena rasanyanya yang enak tapi juga karena pemandangan lautannya yang memesona.
Tanpa terasa, itulah makan terakhir kami di Kiluan. Usai menyantap makanan, kami pun kembali ke penginapan untuk mandi dan merapikan barang bawaan. Perjalanan kembali ke Bandar Lampung sudah menanti di depan. Tak siap rasanya harus meninggalkan daerah di Kabupaten Tanggamus yang cantik ini. Tapi itulah yang namanya jalan-jalan, selalu ada perjumpaan yang berpasangan dengan perpisahan.
Sambil mobil dipanaskan, satu per satu dari kami pamit kepada Cece Stella yang sudah menjamu kami dengan baik. Tak lupa sebelum benar-benar meninggalkan Kiluan, kami berfoto bersama Cece sebagai kenangan. Dan setelah itu, mobil pun melaju dengan santai. Menyisakan saya dan Bang Indra di bagian depan yang menjadi 2 orang terakhir yang tersadar, sisanya tenggelam dalam alam bawah sadarnya. Tertidur pulas lepas hinnga tiba kembali di Bandar Lampung.
Perjalanan 3 jam Tanggamus-Lampung membuat saya dan Billy lebih memilih untuk menggunakan sisa hari yang ada dengan beristirahat. Kami memang bukan tipe orang yang terlalu memaksakan untuk mengunjungi banyak spot setiap harinya. Kami begitu beruntung sebab Firly, salah seorang perwakilan dari Muli Mekhanai yang ikut dengan kami, membukakan pintu rumahnya untuk kami bermalam.
https://www.instagram.com/p/BrtbG9pnMB4/
Catatan:
- Sebenarnya mobil pun bisa meleweati rute yang berat menuju Pantai Gigi Hiu, hanya saja mobil yang digunakan haruslah 4WD dengan ban yang memang sudah diganti untuk medan off road.
- Jika kalian menggunakan sepeda motor sendiri untuk ke Pantai Gigi Hiu dari Kiluan, pastikan kalian memiliki kemampuan mengemudi yang baik karena jalannya sangat hancur.
- Ojek yang saya tuliskan di atas itu sifatnya antar bolak balik ya. Jadi selama kalian asyik berfoto di Pantai Gigi Hiu, mereka akan menunggu jalian hingga selesai dan mengantarkan kalian kembali ke Kiluan.
- Jangan lupa bawa air minum dan makanan sendiri ke Gigi Hiu sebab tidak ada yang menjual makanan dan warung pun cukup sulit ditemukan.
Hari Keempat
Waktu (WIB) | Keterangan |
---|---|
06:00 - 07:15 | Bangun Pagi, Mandi, Sarapan dan perjalanan ke Terminal Bus Damri |
07:15 - 10:15 | Berangkat ke Way Kambas (Plangkawati) dengan DAMRI |
10:15 - 10:30 | Perjalanan ke Rumah Mas Nandar |
10:30 - 15:45 | Taruh barang, Makan Siang dan istirahat siang |
15:45 - 16:05 | Perjalanan ke PLG Way Kambas |
16:05 - 18:00 | Main di PLG Way Kambas |
18:00 | Perjalanan kembali ke Rumah Mas Nandar, makan malam dan acara bebas |
Hari keempat kami bangun paling pagi dari rangkaian perjalanan 7 hari ini. Tepat pukul 06:00 WIB, saya dan Billy sudah mandi dan bergegas untuk menuju ke Way Kambas. Ya, hari ini dan esok, saya dan Billy akan bermain dengan gajah di rumah mereka langsung. Dari rumah Firly, kami berdua menggunakan ojol untuk menuju ke Pool Damri di Rajabasa. Dari sanalah kami akan berangkat menuju Way Kambas.
Lama perjalanan menuju Way Kambas itu kurang lebih 3 jam, mirip-miriplah dengan Bandar Lampung – Teluk Kiluan. Karena sudah tahu sedari awal akan menghabiskan waktu yang begitu lama, say apun memutuskan untuk tidur di dalam bus. Biarlah saya tak bisa menikmati pemandangan yang ada, asalkan saya punya banyak tenaga nantinya untuk bermain di Way Kambas.
Setelah berjalan kurang lebih 3 jam, bus pun berhenti dan sang kondektur mempersilakan kami turun di Plangkawati, lebih tepatnya di depan SDN 1 Labuhan Ratu Tujuh. Jadi kami tidak turun tepat di depan Way Kambasnya lho ya. Buat yang belum tahu, Way Kambas itu memiliki 3 pintu masuk dan saya akan masuk melalui pintu yang ketiga (bukan pintu utama).
Dari kejauhan tempat saya turun, seorang pemuda sudah terlihat menunggu kami. Ia adalah Mas Nandar, salah satu warga Desa Labuhan Ratu Tujuh, yang akan mengantar kami berkeliling Way Kambas. Saya memang sudah janjian dengan Mas Nandar di malam sebelumnya dan di tempat Mas Nandar inilah saya dan Billy akan menginap selama 2 malam.
Dengan berbonceng 3 di atas satu motor, kami dibawa ke rumah Mas Nandar untuk bersantai sejenak sambil menikmati makan siang buatan istrinya. Rumah Mas Nandar ini berbatasan langsung dengan Hutan Way Kambas yang menjadi rumahnya para gajah lho. Puas makan, kami pun tidur beberapa jam untuk persiapan sore hari menuju ke Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas.
Perjalanan menuju PLG Way Kambas dari rumah Mas Nandar hanyalah 15 menit. Setelah kamera dan air minum masuk ke dalam tas, kami pun berangkat ke sana. Lagi-lagi kami berbonceng tiga. Jalan di area Way Kambas itu sudah teraspal dengan rapi, hanya saja jalan dari rumah Mas Nandar ke pintu masuk ketiga Way Kambas-lah yang masih agak rusak. Namun karena kami benar-benar ingin melihat gajah di rumahnya, jalan yang rusak itu tak jadi soal, kami menikmatinya.
Setibanya di PLG Way Kambas, kami langsung menuju ke area dimana gajah dikumpulkan untuk makan. Di sana kami bisa melihat gajah dari berbagai ukuran. Ada yang Dewasa, anak muda dan juga yang masih bayi. Dari mana kami tahu usia mereka? Tentu saja dari Mas Nandar yang sudah sedari kecil bergaul dengan gajah dan akrab dengan gajah-gajah di Way Kambas ini.
Kami menghabiskan cukup banyak waktu di sana untuk berfoto dan mengabadikan moment lucu dari gajah-gajah yang dirawat di sana. Tak lupa, kami memberikan mereka juga makanan berupa dedaunan dan buah-buahan yang kami bawa sendiri. Namun tak selamanya cerita manis yang kami dapat di PLG tersebut. Kami berjumpa dengan gajah yang agak kurang beruntung bernama Erin (kisah lengkap Erin bisa kalian baca DI SINI).
Saat sedang memberi makan, tiba-tiba saja ada seorang pawang yang membawa gajah untuk mandi. Lokasi tempat pemandian gajah tepat di samping area dimana kami bertemu Erin. Tak ingin kehilangan momen, saya pun mendokumentasikan bagaimana cara gajah dimandikan di sana. Tidak jauh dari area pemandian gajah, kami juga bisa melihat adanya Rumah Sakit Gajah Pertama yang ada di Asia. Keren ya Taman Nasional Way Kambas ini.
Di sebelah pemandian gajah, ada lahan terbuka luas dimana berisi gajah-gajah dewasa. Gajah-gajah tersebut diikat di beberapa titik untuk diberi makan. Mungkin ada puluhan gajah di area ini, yang jelas jumlahnya lebih banyak dibanding di area dimana saya bertemu Erin. Khusus area ini, pengunjung dilarang masuk tanpa didampingi oleh pawangnya. Saya pun hanya memotret para gajah dari kejauhan.
Oh ya, Way Kambas ini tempat yang cocok untuk menikmati sunset lho. Kalau kalian beruntung (saat tidak hujan atau langit tidak tertutup awan), kalian akan melihat langit kemerahan saat matahari kembali ke peraduannya. Itulah momen terakhir kami di PLG Way Kambas hari itu, menikmati senja. Dari sana, kami kembali ke rumah Mas Nandar untuk beristirahat.
Catatan:
- Mas Nandar bukan Pawang Gajah lho ya. Dia adalah warga Labuhan Ratu Tujuh (salah satu desa penyangga Taman Nasional Way Kambas) yang memiliki perhatian lebih pada gajah dan sedang mengembangkan wisata edukasi gajah dan hutan di Way Kambas.
- Sebenarnya ada penginapan di Way Kambas, hanya saja saya dan Billy tidak mau menginap di sana. Kami lebih memilih untuk live in di rumah warga dan rumah Mas Nandar lah yang menjadi pilihan kami. Seru banget bisa tinggal bareng warga dan mendengar langsung cerita tentang gajah dari warga yang tinggal di sekitar Hutan Way Kambas.
- Kalau mau melihat gajah di Way Kambas, jangan lupa bawa pisang ya. Mereka itu suka sekali dengan pisang dan senang sekali bila diberikan pisang oleh pengunjung.
- Buat kalian yang ingin bawa mobil pribadi menuju Way Kambas dan berkeliling di sana, bisa banget kok. Seperti saya bilang sebelumnya, jalanannya sudah bagus.
- Area gajah di Way Kambas itu luas banget lho (udah itu aja)
- Jangan lupa bawa air minum. Namun seandainya tidak bawa pun ada beberapa penjual minuman juga di dekat PLG.
- Kalau tidak salah, hanya ada 2 kali DAMRI menuju Way Kambas, pagi seperti yang saya ambil dan siang sekitar pukul 11:00 WIB.
Hari Kelima
Waktu (WIB) | Keterangan |
---|---|
06:00 - 08:30 | Bangun, Olahraga, Sarapan, Mandi |
08:30 - 10:00 | Perjalanan ke ERU (Elephant Response Unit) |
10:00 - 11:30 | Main di ERU |
11:30 - 12:55 | Perjalanan kembali ke Rumah Mas Nandar |
12:55 - 16:00 | Makan siang dan istirahat siang |
16:00 - 16:15 | Kembali ke PLG Way Kambas |
16:15 - 18:00 | Main di PLG Way Kambas |
18:00 | Perjalanan kembali ke rumah Mas Nandar, makan malam dan acara bebas |
Pagi ini saya begitu excited, sebab saya dan Billy akan diantar Mas Nandar untuk langsung bertemu dengan gajah-gajah liar di hutan, bukan yang jinak seperti di PLG Way Kambas. Usai sarapan, kami pun langsung masuk hutan dengan berjalan kaki dan menelusuri jalannya yang berlumpur. Hutan Way Kambas terletak persis di sebelah rumah Mas Nandar. Selama kurang lebih satu setengah jam, kami bertualang bak anak rimba.
Garis finish dari perjalanan kami hari ini adalah ERU (Elephant Response Unit). ERU merupakan tim yang dibentuk kurang lebih 2 tahun lalu, yang salah satu tugasnya adalah untuk menanggulangi gajah-gajah liar yang kerap masuk ke area perkebunan warga. Jadi di ERU ini ada bangunan tempat para petugas untuk tidur dan juga gajah-gajah terlatih yang memang disiapkan untuk menghalau gajah liar yang datang.
Setelah 2 tahun dibentuk dan dianggap berhasil, beberapa ERU lainnya pun dibentuk juga di sekitaran hutan Way Kambas. Total (kalau tidak salah) ada 3 ERU. Sesampainya di ERU, saya dan Billy pun diminta untuk menunggu sebab 2 gajah patroli yang biasa digunakan sedang dilepas di hutan untuk mencari makan. Sang pawang pun harus mencari mereka dahulu dan membawa mereka ke ERU.
Sayang sekali, kami datang disaat yang kurang tepat. Rombongan gajah liar sedang ada di utara, sedangkan kami berada di selatan. Menurut salah seorang penjaga ERU, sudah 1 bulan rombongan gajah liar berada di utara, mungkin 1 bulan lagi baru mereka kembali ke sini. Untuk informasi, rombongan gajah liar itu totalnya bisa sampai 30 ekor lho. Kebayangkan kalau 30 gajah liar menerobos masuk ke pemukiman warga tanpa ada yang menghadang?
Untungnya, ada 2 gajah terlatih yang menjadi pelipur ketidakberuntungan kami melihat gajah liar saat itu. Mereka adalah Amel dan Heli. Amel adalah gajah lucu berusia 6 tahun sedangkan Heli adalah tantenya Amel yang sedang mengandung 12 bulan. Bersama merekalah saya bermain di ERU. Saya memandikan Amel dan Heli, memberi mereka makan, mengajak berjalan-jalan, memeluk mereka dan berfoto bersama. Amel dan Heli ini dilepas bebas begitu saja dan tanpa ada rantai untuk mengamankan langkah mereka.
Tak terasa, sudah 1 jam 30 menit saya bermain bersama Amel dan Heli di ERU dan sudah waktunya untuk kembali melepas mereka ke hutan. Seiring dengan kembalinya Amel dan Heli untuk mencari makan di hutan, saya, Billy dan Mas Nandar pun kembali ke rumah Mas Nandar untuk beristirahat siang. Kami kembali melewati jalur yang sama seperti kami datang, penuh lumpur dan hijaunya pepohonan.
Sesampainya di rumah Mas Nandar, istrinya sudah menyiapkan makan siang untuk kami. Nikmat mana lagi yang kami dustakan. Setelah datang dalam kondisi lelah, makanan sudah dihidangkan di depan mata. Setelah kenyang, kami pun punya waktu bebas dan kami memilih untuk tidur siang. Aktivitas bersama gajah baru akan dimulai pada sore hari nanti.
Tidur siang membuat tenaga kami pulih kembali. Sekarang waktunya menghabiskannya bersama gajah. Kami pun kembali menuju PLG Way Kambas untuk bermain bersama Erin dkk dengan berbonceng 3 di atas sepeda motor. Tidak banyak aktivitas yang berbeda dari hari sebelumnya. Udara cerah dan rombongan gajah pun terlihat sehat semua. Kami bersyukur bisa menikmati sunset di Way Kambas ini lagi.
Senang bercampur sedih kami rasakan sore itu. Senang karena kami bisa melihat gajah di rumahnya dan sedih karena ini adalah hari terakhir kami bertemu mereka karena keesokan harinya kami harus kembali ke Bandar Lampung dan lusa kami harus terbang kembali ke Jakarta.
Catatan:
- Untuk menuju ERU, disarankan memakai sandal atau sepatu gunung karena tanahnya itu tanah basah dan cukup menempel di permukaan sandal atau sepatu.
- Seperti berkunjung ke PLG Way Kambas, jangan lupa bawa pisang untuk gajah-gajah di ERU ya.
- ERU ini area khusus. Tidak bisa sembarang orang masuk ke sana. Saya pun bisa masuk ke sana karena Mas Nandar sudah membuat janji terlebih dahulu dengan pihak ERU. (tidak bisa dadakan)
- Ada biaya yang harus kalian bayarkan bila mau berkunjung ke ERU. Yang pertama adalah biaya pemandu untuk Mas Nandar dan yang kedua adalah biaya untuk bermain bersama gajah di sana. Detilnya akan saya tulis di postingan terpisah.
- Jangan lupa bawa air minum ya karena perjalanannya jauh dan di hutan tidak ada penjaja makanan atau minuman
Hari Keenam
Waktu (WIB) | Keterangan |
---|---|
06:00 - 08:00 | Bangun, Mandi, Sarapan |
08:00 - 11:00 | Perjalanan ke Terminal Rajabasa dari Plangkawati |
11:00 - 11:30 | Perjalanan Menuju Transmart dari Terminal Rajabasa |
11:30 - 15:30 | Makan siang dan nonton di Transmart |
15:30 - 18:00 | Perjalanan menuju penginapan (Kosotel) dan beristirahat |
18:00 - 18:15 | Perjalanan ke Askhajaya untuk membeli oleh-oleh |
18:15 - 19:00 | Belanja oleh-oleh di Askhajaya |
19:00 - 19:10 | Perjalanan ke Yussy Akmal untuk belanja oleh-oleh |
19:10 - 19:30 | Belanja di Yussy Akmal |
19:30 - 20:00 | Perjalanan ke Warung Mba Nani untuk Makan Malam |
20:00 - 21:00 | Makan malam |
21:00 - 21:30 | Perjalanan ke Masjid Anwar dan sejenak berada di sana |
21:30 - 22:00 | Perjalanan menuju Bukit Randu |
22:00 - 22:30 | menikmati pemandangan Bandar Lampung dari atas bukit Randu |
22:30 - 22:45 | Perjalanan kembali ke Kosotel |
22:45 | Acara bebas dan istirahat |
Pagi-pagi benar, saya dan Billy sudah dibangunkan oleh Mas Nandar untuk segera mandi dan sarapan. Bus tujuan Terminal Rajabasa akan berangkat jam 08:00 dari Plangkawati. Sebelum berpisah, saya dan Billy tidak lupa mengucapkan terima kasih atas pelayanan dan pengalaman luar biasa dari Mas Nandar. Kami pun kembali diantarnya, kali ini ke tempat untuk menunggu bus menuju Terminal Rajabasa, letaknya tidak jauh dari SDN 1 Plangkawati, tempat kami diturunkan kemarin.
Bus yang kami tumpangi itu sudah terisi penuh dari awal, untungnya kami masih kebagian tempat duduk. Bersamaan dengan melaunya bus di atas aspal yang halus, ketika itu pulalah saya dan Billy tertidur sepanjang perjalanan hingga tiba di Terminal Rajabasa yang lumayan padat dengan berbagai jenis angkutan umum.
Setibanya di Terminal Rajabasa, kami menggunakan ojol untuk menuju Transmart. Waktu yang masih siang dan belum ada rencana sama sekali membuat kami memutuskan untuk makan siang di sana dan membunuh waktu dengan menonton salah satu film Indonesia di Bioskop. Ya, lumayanlah, 4 jam berhasil kami habiskan di sana.
Dari Transmart, kami menuju penginapan di Kosotel. Sebenarnya salah satu alasan kami menghabiskan waktu di Transmart adalah agar setibanya di penginapan, kami bisa langsung check in. Acara kami hari ini baru ada pada malam hari dan itu pun kembali dijamu oleh Bang Indra, sang biduan dan penguasa Bandar Lampung.
Tepat jam 18:00, saya dan Billy berjumpa dengan Bang Indra di Askhajaya. Ya, malam ini kami dedikasikan untuk belanja oleh-oleh bagi orang-rang yang kami kasihi dan menikmati suasana kota Bandar Lampung. Ada apa aja sih di Askhajaya? Ada banyak pilihan oleh-oeh, tapi yang paling terkenal adalah keripik pisang dengan varian rasanya. Ada yang rasa barbeque, rasa keju, pedas manis, dan banyak lagi. Enaknya belanja di Askhajaya ini adalah kami bisa mencicipi semua varian rasa sepuas kami sebelum memutuskan untuk membelinya. Bahkan setelah mencoba semua varian rasa tapi tidak ingin jadi membei pun tidak apa-apa (asal tahu malu aja).
Setelah pusing dibuat oleh Askhajaya (pusing karena semuanya enak dan mau beli semua), kami beralih ke toko oleh-oleh selanjutnya yaitu Yussy Akmal. Lampung itu terkenal akan pisangnya, kalau tadi di Ashkajaya ada olahan pisang dalam bentuk keripik, di Yussy Akmal ini kalian wajib membeli Pie Pisangnya yang enak banget. Ada lagi beberapa olahan lainnya seperti roti, kue tart, puding, tapi yang wajib adalah pie pisangnya.
Berbelanja, selain membuat uang habis, ternyata membuat tenaga habis juga. Untuk itulah tujuan selanjutnya kami memutuskan ke Warung Mba Nani. Warung ini adalah warung pinggir jalan yang menjajakan berbagai macam makanan seperti pecel, ayam goreng, ayam bakar, dan teman-teman semacamnya. Karena sedang hidup sehat, kami bertiga pun memesan ayam bakar tanpa nasi. Kenyang? Kenyang dong karena kami boleh mengambil lalapan sesuka hati kami.
Dari Mba Nani, Bang Indra mengajak kami sebentar untuk mampir ke Masjid tertua yang ada di bandar Lampung, Masjid Anwar namanya. Masjid ini dibangun tahun 1888 adn mengalami pemugaran pada tahun 1962. Tua sekali kan umurnya?
Sebelum menutup malam terakhir di Bandar Lampung, Bang Indra mengajak saya dan Billy ke Bukit Randu. Di atas bukit ini terdapat sebuah penginapan dimana kami boleh bermain tanpa harus menginap. Dari hotel inilah kami memandang kota Bandar Lampung dengan gemerlap lampunya yang temaram. Dari atas penginapan ini kami bisa melihat Stasiun Tanjung Karang, bukit lainnya nun jauh di sana dan beberapa aktivitas kendaraan yang terpantau dari lampunya. Tak perlu banyak aktivitas yang dilakukan di sana, cukup memandangi kota bandar Lampung dari atas.
Tanpa terasa, waktu juga lah yang harus memisahkan kami. Bang Indra pun mengantar kami kembali ke hotel agar kami bisa beristirahat. Terima kasih Bang Indra sudah menjamu kami dengan sangat baik. Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikanmu.
Catatan:
- Jangan heran bila supir Bus DAMRI yang akan mengantar kalian ke Terminal Rajabasa dari Plangkawati sarapan dulu ya. Jadi bus akan berhenti sekian jam untuk menunggu si supir selesai sarapan (supir juga manusia yang bisa lapar).
- Sesampainya di Terminal Rajabasa, jangan langsung memesan ojol di terminal. Berjalanlah dulu agak jauh dari terminal dan pesanlah di sana. Masih ada konflik kepentingan antara ojek pangkalan dengan ojol di Terminal Rajabasa.
- Bisa dibilang harga oleh-oleh di Lampung ini masih masuk akal kok, tidak terlalu mahal.
- Untuk mendatangi semua toko oleh-oleh yang saya sebutkan di atas, kalian bisa mencarinya di Google Maps dan hal tersebut akurat.
Hari Ketujuh
Waktu (WIB) | Keterangan |
---|---|
05:00 - 06:00 | Bangun pagi dan mandi |
06:00 - 06:40 | Perjalanan ke Bandara Raden Inten II |
06:40 | Perjalanan kembali ke Jakarta |
Akhirnya, kami tiba di penghujung liburan. Kini saatnya untuk saya dan Billy pamit dari Lampung yang luar biasa ini. Terima kasih sudah memberikan banyak pelajaran lewat liburan yang kami lalui. Sampai jumpa di kesempatan selanjutnya 🙂
RINCIAN BIAYA JELAJAH LAMPUNG BISA DILIHAT → DI SINI
Kontak
- Penginapan Kiluan dan Ojek Gigi Hiu Cece Stella → 081279424545
- Mas Nandar → Silahkan email kami di dailyvoyagers(at)gmail.com
A vacation is what you take when you can no longer take what you’ve been taking.
–Earl Wilson